Selasa, 02 April 2013

FILSAFAT ILMU DAKWAH MELIPUTI KAJIAN ONTOLOGIS, EPISTIMOLOGI, AKSIOLOGIS ILMU DAKWAH


I.          PENDAHULUAN
Secara epistimologis filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta dan kata shopos yang berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi filsafat berarti cinta kepada pengetahuan atau kebijaksanaan. Singkat kata, filasafat adalah suatu kegiatan atau aktifatas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai dasar utamanya. Mengenai istilah “philo” atau cinta disini terdapat sebuah catatan. Kata cinta merujuk kepada panggilan hati nurani untuk melakukan suatu kegiatandengan penuh kesadaran, tanpa paksaan dari luar. Itulah sebabnya orang melakukan kegiatan mencari kegiatan atau filosof adalah orang yang pola hidupnya amat unik. Ia kadang tidak menyukai kebendaan atau hal-hal yang membawa kepada kerendahan dan hal-hal lain yang kurang ideal.
Dakwah secara esensial bukan hanya berarti usaha mengajak mad’u untuk beriman dan beribadah kepada Allah, tetapi juga bermakna menyadarkan manusia terhadap realitas hidup yang harus mereka hadapi dengan berdasarkan petunjuk Allah dan RasulNya. Jadi dakwah dipahami sebagai seruan, ajakan dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat islami berdasarkan kebenaran ajaran islam yang hakiki.

II.       PERMASALAHAN
a.      Ontologis Ilmu Dakwah
b.      Epistimologis Ilmu Dakwah
c.       Aksiologis Ilmu Dakwah

III.    PEMBAHASAN

a.      Ontologis Ilmu Dakwah
1.  Aspek kuantitas kenyataan
Ditinjau dari aspek kuantitas kenyataan telah melahirkan aliran ontology yaitu monisme, dualisme, dan pkularisme. Monisme adalahaliran ontology yang beranggapan bahwa hakikat yang ada tersusun dari unsure tunggal. Dualisme aliran ontology yang beranggapan bahwa hakikat yang ada tersusun atas dua unsure. Pkularisme aliran ontology yang beranggapan bahwa hakikat yang ada tersusun dari dua unsure.[1]
Berangkat dari personal atas fundamental ontology tersebut, maka pengembangan ilmu dakwah dapat di lakukan dengan mengembangkan pandangan ontologism tersebut. Dilihat dari aspek kuantitas kenyataan, ilmu dakwah harus mengembangkan aliran pluralisme. Menurut Ahmad Charris Zubair, dakwah sebagai objek kajian tidak akan bemakna manakala pluraliata tidak tergarap, bahkan dinafikan, sehingga dakwah bukan lagi panggilan atau ajakan, melainkan paksaan.
Selanjutnya, Zubair mengatakan bahwa pemahaman terhadap pluralitas setidaknya terbangun atas dasar sebagai berikut.
·         Pluralitas kebudayaan atau cultural merupakan realitas yang paling elementer dan oleh karena itu tidak dapat dihindarkan dan menurut konsep teologis islam dapat dilihat dalam Al-Qur’an (Q.S.49:13).
·         Pluralisme normatif yang mengisyarakatkan perbedaan penafsiran dan pemaknaan terhadap nilai dan norma yang sama. Ini terjadi karena adanya perbedaan pengalaman, kemampuan dan juga persoalan yang dihadapi secra berbeda (Q.S. 5:48).pluralitas normatif menurut gagasan islam lebih bersifat aksidental yang menghasilkan masalah khilafiyah.
·         Pluralitas substansif yang menyangkut perbedaan prinsip dan perbedaan aqidah didunia ini  juga ditemukan kemajemukan prisipil sebab pada  dasarnya orang tidak dapat dipaksa untuk mengikuti prinsip yang sama, sehingga dalam kehidupan manusia ada bermacam-macam keyakinan agama.
2. Aspek kualitatif kenyataan
Persoalan ontologis dilihat dari aspek kualitas kenyataan melahirkan aliran materialisme dan spiritualisme. Materialism beranggapan bahwa hakikat yang ada bersifat kebendaan, sementara spiritualisme beranggapan hakikat yang ada bersifat spiritual atau rohaniah. Namun pada pandangan lain yang mencoba memadukan kedua pandangan ekstrem tersebut dengan pandangan bahwa kenyataan material dan spiritual tersebut bersifat parallel.
Kemudian, jika dilihat dari aspek kuantitas kenyataan, ilmu dakwah mengembangkan gagasan pluralisme, maka dilihat dari aspek kualitas kenyataan, ilmu dakwah harus mengembangkan aliran pararelisme antara spiritualisme dan materialisme. Pandangan ini berasal dari pandangan ontology-metafisis ajaran islam yang bersumber pada ajaran tauhid. Menurut Ismail Raji al-Faruqi, tauhid adalah esensi dan prinsip pertama dalam islam, peradaban dan kebudayaannya. Karena itu Hasan Hnafi berpendapat bahwa untuk membangun kembali peradaban islam tidak harus dimulai dengan membangun kembali semangat tauhid ini.
Secara harfiyah tauhid berarti kesatuan (unitas) yang secara absolute berarti mengesakan Allah dan membedakannya dari mahluk. Akan tetapi tauhid juga dapat diartikan secara luas sebagai kesatuan seluruh ciptaan, baik manusia maupun alam dalam relasi-relasi kehidupan. Dengan kata lain tauhid mengandung pengertiantentang kesatuan antara Tuhan, manusia dan alam. Dengan demikian umat islam harus mengakui bukan hanya bahwa Allah adalah esa, tetapi juga mengerti bahwa ada kaitan antara segala sesuatu, termasuk kesatuan yang terjadi diantara seluruh ciptaan Allah.
Kemudian dalam posisinya sebagai khalifah, maka manusia berkewajiban mengembangkan ilmu pengetahuan, sebab ilmulah yang merupakan factor utama yang mebuat manusia diberi amanah sebagai khalifah di bumi. Dengan ilmu itu, Adam sebagi nenek moyang manusia dilebihkan atas malaikat dan mahluk lain yang sempat penasaran untuk meraih khalifah di muka bumi ini sehingga mereka mempermaslahkan pemberian amanah ini kepada manusia.
Berdasarkan fungsi manusia seabagai khalifah dan abd ini, maka islam tidak mengenal pemisahan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, suatu pandangan sekuler sebagaimana yang berkembang di barat. Seabaliknya, islam mengajrkan kepada umatnya untuk menyeimbangkan pola hidup diantara keduanya.
Pararelisme antara materialisme dan spiritualisme akan melahirkan kosekuensi bahwa dalam dakwah bukan hanya aspek pengembangan materil-fisik-lahiriah yang diutamakn, melainkan juga pembanguna aspek spiritual objek dakwah juga sangat penting. Keduanya harus berjalan seiring dan yang berkulitas muslim kaffah.
3. Aspek Proses Kenyataan
Dilihat dari aspek proses kenyataan telah melahirkan bebagai aliran, di antaranya mekanisme, teleologisme, vitalisme,dan organism. Mekanisme adalah aliaran pemikiran yang berpandangan bahwa yang ada begerak berdasarkan asas-asas mekanik. Teologisme adalah aliran pemikiran yang berpandangan bahwa kenyataan yang ada tiadak semata-mata karena suatu hukum sebab akibat, namun karena ada tujuan tertentu. Vitalisme adalah aliaran pemikiran yang berpendapat bahwa hakiakat kenyataan tidak semata-mata terdiri atas unsur-unsur fisika-kimiawi semata, namun juga ada asas hidup. Sedangkan organism adalah aliran pemikiran yang berpandangan bahwa kenyataan hidup merupakan suatu struktur yang dinamakan suatu kebulatan yang memiliki bagian-bagian yang heterogen, tetapi yang utama adanya system yang teratur.
Kemudian, jika dilihat dari aspek kuantitas kenyataan, ilmu dakwah mengembangkan gagasan pluralisme, maka dilihat dari aspek kualitas kenyataan, ilmu dakwah harus mengembangkan aliran pararelisme antara spiritualisme dan materialisme, maka dilihat dari proses kenyataan, ilmu dakwah dapat mengembangkan pandangan teologisme dan vitalisme. Kedua pandangan ini harus dikembangkan atas dasar asumsi bahwa manusia yang menjadi objek dakwah selalu mengalami perubahan zaman. Hal ini membawa konsekuensi sebagai berikut.
A.                manusia yang selalu mengalami perubahan ini dapat mengandung  pengertian positif dan dapat juga mengandung pengertian negatif. Positif berarti perubahan itu berlangsung kearah yang lebuh baik , dan negatif berarti perubahan ini berlangsung kearah yang kurang baik. Akan tetapi dalm dua bentuk perubahan ini posisi dakwah tetap sangat penting. Kepada mu’min yang sudah baik yang telah menjalan ajaran islam, dakwah berfungsi untuk menjaga keimanan mereka agar tetap baik,sedangkan yang belum menjalan ajaran islam dakwah berfungsi menyadarkan mereka untuk merealisasikan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari.
B.                 Terkait dengan perubahan social ini, maka materi dakwah yang akan di sampaikan harus disesuaikan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, aspek relevansi materi ini menjadi sangat penting di tengah-tengah perubahan social.

b.      Epistimologis Ilmu Dakwah

1.      Konstruksi Keilmuan Dakwah
Dalam tradisi keilmuan islam berkembang system pemikiran atau episteme yang khas. Dalam konteks ini, pemikiran Mohammae Abed al-Jabiri, seorang pemikir islam kotemporer kelahiran maroko, mengenai system pemikiran yang berlangsung dalam dunia arab merupakan suatu yang sangat berharga.
·         Episteme Bayani
Menurut Al-jabiri, system indikasi serta eksplikasi (bayani) merupakan system epistimologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Bahasa arab menjadi satu-satunya mediator sekaligus kerangka referensial, karena bahasa arab dipandang sebagai bahasa Al-qur’an. Hal ini merupakan konstruksi pemikiran yang telah diciptakan pada masa kodifikasi dan telah dipergunakan sebagai legitimasi terhadap berbagi prinsip pengetahuan.
Karakteristik umum yang terkait dengan episteme bayani ini antara lain membatasi diri pada wilayah bahasa dengan menghindari ta’wil yang menganut pandangan la kaifa (tidak banyak bertanya soal bagaimana dan mengapa), berpegang tegang teguh pada format-forma bahasa dan bentuk-bentuk bayani (keindahan dan kekuatan bahasa bagai sihir yang memukau) yang bersifat indrawi, membatasi diri pada suatu definisi yang substansi dan hakikat, anti kuasa litas dan sebagai gantinya menganut pandangan tentang munasabah (kesepadanan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya) dan adah (hukum kebiasaan,hukum kepastian), menolak ide ketakberhinggaan, dan segala yang berkaitan dengannya pro-qiyas fiqh dalam setiap penalaran dan juga bertitik tolak dari pola baku fi’il (kata kerja) dalam bahasa dan pemikiran serta mengkaitkan segala format bahasa dan pikiran kebentu baku ini.
·         Episteme Irfani
Tradisi irfani memiliki karakter yang berbeda dari bayani. Menurut al- jabiri, sebagai sebuah system epistimologi, irfani atau yang kemudian dikenal dengan illuminasi atau gnotisisme berasal dari pemikiran timur dan tradisi pemikiran hermetisme. Sitem ini dibangun atas dasar sebuah representasi yang di sebut “wahyu dalam dan ilham bathin”. Prakti-praktik ni meliputi sufisme, pemikiran syi’ah, filsafat isma’ili, filsafat illuminasi oriental, teosofi, magis, serta tafsir Al-Qur’an yang bersifat esotorik-sufistik.
·         Episteme Burhani
Berbeda dengan sistem episteme bayani dan irfani, maka system episteme burhani memiliki karakteristik tersendiri. System epistimologi burhani ini merupakan system epistimologi yang di dasarkan pada penalaran rasional dan pembukuan pembuktian inferensialyang didasarka pada pemikiran yunani, khusunya Aristoteles. Yang dibutuhkan oleh episteme burhani adalah prinsip-prinsip dasar logika yang meyakinkan, yang kemudian dari sana diteliti kesimpulan-kesimpulan atau inferensi yang secara pasti lahir dari prinsip tersebut. Kepastian tersebut diukur menurut standar prinsip kualitas, yang mengaitkan suatu akibat dab sebabnya.
·         Posisi Ilmu Dakwah
Dakwah merupakan upaya menyampaikan pesan yang yang dilakukan oleh seorang da’i kepada masyarakat (mad’u), sehingga berlangsung hubungan komunikasi antara da’I dan mad’u yang bersifat informative-komunikatif. Namun demikian, komunikasi tidak hanya bersifat informative tetapi juga persuasif. Artinya komunikasi tidak hanya bertujuanagar orang lain tahu dan mengerti, tetapi juga berharap agar orang lainmenerima suatu paham, keyakinan atau melakukan suatu perbuatan tertentu. Dengan demikian, dakwah dalam perspektif komunikasi bukan hanya penyampaian informasi, tetapi juga pembentukan pendapat umum dan sikap public.
Kemudian untuk sampai pada tujuan dakwah, maka terdpat proses dakwah yang harus dilalui oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Pertam-tama komunikator menjadi (encode) pesan yang akan disampaikan pada komunikan (receiver). Ini berarti ia memformulasikan pikiran atau perasaanya kedalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian menjadi giliran komunikan (mad’u) untuk mengawa-sandi (decode) pesan dari komunikator. Berarti menafsirkan lambang yang mengandung pikiran atau perasaan komunikator dalam konteks pengertiannya. Jadi, komunikasi akan berhasil apabila pesan yang dismpaikan komunikator cocok dengan kerangka acuan, yakni paduan pengalaman dan pengertian yang pernah diperoleh komunikan. Dengan demikian, komunikan selalu bersifat dialogis, sehingga ketika komunikan memberikan jawaban, maka ia kini menjadi encoder dan komunikator yang menjadi decoder. inilah suatu proses yang yang di namakan umpan balik (feedback).

2.      Metode Keilmuan Dakwah
Salah satu persoalan penting yang berhubungan dengan epistimologi dakwah adalah persoalan metode keilmuan. Secara teknik metode ilmiah terdiri dari observasi, dan hipotesis suatu fenomena, penyusunan hipotesis, melakukan uji eksperimental. Jika penelitian ini mendukung hipotesis, maka ia diterima sebagai teori atau hukum alam, tetapi jika penelitian ini tidak mendukung hipotesis, maka hipotesis ini harus ditolak atau di modikfikasi.
Secara umum, alur metode ilmiah dalam ilmu social hermeneutis kurang lebih sama dengan metode ilmiah dalam ilmu social positivistic, kecuali dalam hal alat yang digunakan untuk menguji hipotesis. Hal ini disebabkan oleh cara pandangan kedua paradigma keilmuan tersebut dalam memahami objeknya. Dalam ilmu social positivistic, objek dianggap terpisah dari subjek, sehingga subjek dianggap mampu memahami objek secara objektif. Karena itu uji eksperimental dilakukan oleh ilmu social positivistic dengan prinsip kebenaran verifikatif dalam ilmu social-hermeneutis, objek tidak dianggap terpisah dari subjek, sehingga subjektivitas hermeneut sulit dihindari. Akibatnya, kebenaran verifikatif sebagai mana dirancang ilmu social-positivistis ditolak oeh ilmu social-hermeneutis dan diganti dengan kebenaran intersubjektifitas.

c.       Aksiologis Ilmu Dakwah
Ø  Apa Itu Nilai
Nilai merupakan sebuah term yang mengandung makna yang lebih bersifat generic bila dibandingkan dengan istilah moral dan etika. Nilai sering dipahami sebagai seperangkat moralitas yang paling abstrak. Terdiri dari suatun perangkat keyakinan atau perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang member corak khusus pada pola pemikiran, perasaan, keterikatan dan perilaku. Contohnya adalah nilai ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan. Nilai-nilai semacam ini mengandung pengertian yang bersifat universal dan abstrak serta terbatas dari ikatan ruang dab waktu.
Karena bersifat universal dan abstrak, maka nilai mebutuhkan penjabaran lebih lanjut agar ia bersifat operasional. Penjabaran dari nilai ini selanjutnya sering disebut dengan moral. Dengan kata lain, moral merupakan penjabaran dari nilai dalam bentuk yang lebih operasional, meski tidak seoperasional etika.
Ø  Ilmu dan Pertimbangan Nilai
Perkembangan ilmu juga seringkali melupakan gagasan dasar yang menjadi tujuan utama ilmu, yaitu untuk mempermudahkan manusia dalam dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kenyataannya, perkembangan ilmu sering melupakan factor manusia ini yang pada gilirannya melahirkan paradox atau kontradiksi internal dalam tubuh ilmu itu sendiri. Di satu sisi teknologi, kata para ilmuan, dikembangkan seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia. Di sisi yang lain, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Bukan teknologi yang menyesuaikan dengan kebutuhan manusia, tetapi manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Dengan kata lain ilmu bukan lagi sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, tetapi juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Dalam banyak kasus, tekhnologilah yang justru melahirkan kebutuhan manusia. Artinya, setelah tekhnologi tercipta baru kemudian lahir kebutuhan manusia. Media iklan yang di tayangkan televise barangkali merupakan salah satu contoh yang paling nyata.
Ø  Ilmu Dakwah dan Internalisasi nilai
Salah satu esensi dakwah adalah transformasi sosial melalui internalisasi nilai-nilai positif dalam masyarakat. Tujuannya adalah membangun masyarakat yang berperilaku positif-konstruktif dalam rangka meraih kebahagiaan hidup yang sejati sesuai dengan nilai-nilai yang disampaikan Allah melalui wahyu dan sunah Nabi. Melalui dakwah, nilai-nilai yang ada dalam Al-qur’an dan sunah diupayakan untukl menjadi bagian dari nilai yang tumbuh dalam kesadaran moral masyarakat untuk kemudian masyarakat itu menghayati dan mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan historis-faktual.
Ø  Dakwah dan Rekayasa Sosial
Selain problem yang berkaitan dengan relasi ilmu dan nilai. Problem aksiologis adalah problem yang berhubungan dengan tujuan, fungsi, dan manfaat ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Berkaitan dengan persoalan ini, setiap ilmu pengetahuan umumnya memiliki fungsi-fungsi khusus dalam hubungannya dengan suatu objek pengetahuan.
Diantara fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berkut. Pertama, lmu pengetahuan berfungsi menjelaskan suatu fenomena. Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada.  Fungsi kedua, ilmu pengetahuan adalah meramalkan fenomena yang akan terjadi (fungsi prediktif), yaitu meramalkan kejadian-kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehinnga manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha menghadapinya. Fungsi ketiga ilmu pengetahuan adalah mengontrol alam agar dapat mngendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak di kehendaki. Dengan demikaian, ilmu merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah itu tidak lagi merupakan misteri. Penjelaskan ini akan memungkinkan manusia meramalkan sesuatu yang akan terjadi, dan karenanya memungkinkan manusia mengontrol gejala tersebut. Untuk itu, ilmu membatasi ruang jelajah kegiatannya pada daerah pengalaman manusia.
Jadi, fungsi ilmu adalah memberikan penjelasan, memprediksi proses dan produk yang akan datang atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolute atau probabalistik. Menampilkan informasi absolute biasanya menggunakan landasan asumsi, postulat atau aksioma yang sudah dipastikan kebenarannya. Sedangkan membuat penjelasan prediksi atau pun pemaknaan untuk mengejar kepastian dapat ditempuh secara induktif, deduktif ataupun reflektif, yang dalam ontology dikenal dengan pembuktian apriori dan a posteriori.

IV.    KESIMPULAN

Ontologis ilmu dakwah meliputi, aspek kuantitatif kenyataan telah melahirkan aliran ontology yaitu monisme, dualisme, dan pkularisme. Aspek kualitatif kenyataan melahirkan aliran materialism dan spiritualisme. Aspek proses kenyataan melahirkan bebagai aliran, di antaranya mekanisme, teleologisme, vitalisme,dan organism.
Epistimologi ilmu dakwah meliputi, konstruksi keilmuan dakwah dan metode ilmu dakwah. Kontruksi keil muan dakwah meliputi aspek sebagai berikut: episteme bayani, epiteme irfani, episteme burhani, posisi ilmu dakwah.
Aksiologis ilmu dakwah meliputi: apa itu nilai, ilmu dan paertimbangan nilai, ilmu dakwah dan internalisasi nilai, dan dakwah dan rekayasa social.

V.       PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam hal penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran Kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita.









DAFTAR PUSTAKA
Supena, Ilyas,  Filsafat Ilmu Dakwah Perspektif Filsafat Ilmu sosial, ABSOR Hidmah dan Ibadah : semarang, 2007.