I.
PENDAHULUAN
Secara epistimologis
filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta dan kata shopos yang
berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi filsafat berarti cinta kepada
pengetahuan atau kebijaksanaan. Singkat kata, filasafat adalah suatu kegiatan
atau aktifatas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai dasar
utamanya. Mengenai istilah “philo” atau cinta disini terdapat sebuah catatan.
Kata cinta merujuk kepada panggilan hati nurani untuk melakukan suatu
kegiatandengan penuh kesadaran, tanpa paksaan dari luar. Itulah sebabnya orang
melakukan kegiatan mencari kegiatan atau filosof adalah orang yang pola
hidupnya amat unik. Ia kadang tidak menyukai kebendaan atau hal-hal yang
membawa kepada kerendahan dan hal-hal lain yang kurang ideal.
Dakwah secara esensial
bukan hanya berarti usaha mengajak mad’u untuk beriman dan beribadah kepada
Allah, tetapi juga bermakna menyadarkan manusia terhadap realitas hidup yang
harus mereka hadapi dengan berdasarkan petunjuk Allah dan RasulNya. Jadi dakwah
dipahami sebagai seruan, ajakan dan panggilan dalam rangka membangun masyarakat
islami berdasarkan kebenaran ajaran islam yang hakiki.
II.
PERMASALAHAN
a.
Ontologis
Ilmu Dakwah
b.
Epistimologis
Ilmu Dakwah
c.
Aksiologis
Ilmu Dakwah
III.
PEMBAHASAN
a.
Ontologis
Ilmu Dakwah
1. Aspek kuantitas kenyataan
Ditinjau dari aspek kuantitas kenyataan
telah melahirkan aliran ontology yaitu monisme, dualisme, dan
pkularisme. Monisme adalahaliran ontology yang beranggapan bahwa hakikat
yang ada tersusun dari unsure tunggal. Dualisme aliran ontology yang beranggapan
bahwa hakikat yang ada tersusun atas dua unsure. Pkularisme aliran
ontology yang beranggapan bahwa hakikat yang ada tersusun dari dua unsure.[1]
Berangkat dari personal atas fundamental
ontology tersebut, maka pengembangan ilmu dakwah dapat di lakukan dengan
mengembangkan pandangan ontologism tersebut. Dilihat dari aspek kuantitas
kenyataan, ilmu dakwah harus mengembangkan aliran pluralisme. Menurut Ahmad
Charris Zubair, dakwah sebagai objek kajian tidak akan bemakna manakala
pluraliata tidak tergarap, bahkan dinafikan, sehingga dakwah bukan lagi
panggilan atau ajakan, melainkan paksaan.
Selanjutnya, Zubair mengatakan bahwa
pemahaman terhadap pluralitas setidaknya terbangun atas dasar sebagai berikut.
·
Pluralitas
kebudayaan atau cultural merupakan realitas yang paling elementer dan oleh
karena itu tidak dapat dihindarkan dan menurut konsep teologis islam dapat
dilihat dalam Al-Qur’an (Q.S.49:13).
·
Pluralisme
normatif yang mengisyarakatkan perbedaan penafsiran dan pemaknaan terhadap
nilai dan norma yang sama. Ini terjadi karena adanya perbedaan pengalaman,
kemampuan dan juga persoalan yang dihadapi secra berbeda (Q.S. 5:48).pluralitas
normatif menurut gagasan islam lebih bersifat aksidental yang menghasilkan
masalah khilafiyah.
·
Pluralitas
substansif yang menyangkut perbedaan prinsip dan perbedaan aqidah didunia
ini juga ditemukan kemajemukan prisipil sebab pada dasarnya orang
tidak dapat dipaksa untuk mengikuti prinsip yang sama, sehingga dalam kehidupan
manusia ada bermacam-macam keyakinan agama.
2.
Aspek kualitatif kenyataan
Persoalan ontologis dilihat dari aspek
kualitas kenyataan melahirkan aliran materialisme dan spiritualisme. Materialism
beranggapan bahwa hakikat yang ada bersifat kebendaan, sementara spiritualisme
beranggapan hakikat yang ada bersifat spiritual atau rohaniah. Namun pada
pandangan lain yang mencoba memadukan kedua pandangan ekstrem tersebut dengan
pandangan bahwa kenyataan material dan spiritual tersebut bersifat parallel.
Kemudian, jika dilihat dari aspek
kuantitas kenyataan, ilmu dakwah mengembangkan gagasan pluralisme, maka dilihat
dari aspek kualitas kenyataan, ilmu dakwah harus mengembangkan aliran
pararelisme antara spiritualisme dan materialisme. Pandangan ini berasal dari
pandangan ontology-metafisis ajaran islam yang bersumber pada ajaran tauhid.
Menurut Ismail Raji al-Faruqi, tauhid adalah esensi dan prinsip pertama
dalam islam, peradaban dan kebudayaannya. Karena itu Hasan Hnafi berpendapat
bahwa untuk membangun kembali peradaban islam tidak harus dimulai dengan
membangun kembali semangat tauhid ini.
Secara harfiyah tauhid berarti kesatuan
(unitas) yang secara absolute berarti mengesakan Allah dan membedakannya dari
mahluk. Akan tetapi tauhid juga dapat diartikan secara luas sebagai kesatuan
seluruh ciptaan, baik manusia maupun alam dalam relasi-relasi kehidupan. Dengan
kata lain tauhid mengandung pengertiantentang kesatuan antara Tuhan, manusia
dan alam. Dengan demikian umat islam harus mengakui bukan hanya bahwa Allah
adalah esa, tetapi juga mengerti bahwa ada kaitan antara segala sesuatu, termasuk
kesatuan yang terjadi diantara seluruh ciptaan Allah.
Kemudian dalam posisinya sebagai
khalifah, maka manusia berkewajiban mengembangkan ilmu pengetahuan, sebab
ilmulah yang merupakan factor utama yang mebuat manusia diberi amanah sebagai
khalifah di bumi. Dengan ilmu itu, Adam sebagi nenek moyang manusia dilebihkan
atas malaikat dan mahluk lain yang sempat penasaran untuk meraih khalifah di
muka bumi ini sehingga mereka mempermaslahkan pemberian amanah ini kepada
manusia.
Berdasarkan fungsi manusia seabagai
khalifah dan abd ini, maka islam tidak mengenal pemisahan antara kehidupan
dunia dan kehidupan akhirat, suatu pandangan sekuler sebagaimana yang
berkembang di barat. Seabaliknya, islam mengajrkan kepada umatnya untuk
menyeimbangkan pola hidup diantara keduanya.
Pararelisme antara materialisme dan
spiritualisme akan melahirkan kosekuensi bahwa dalam dakwah bukan hanya aspek
pengembangan materil-fisik-lahiriah yang diutamakn, melainkan juga
pembanguna aspek spiritual objek dakwah juga sangat penting. Keduanya harus
berjalan seiring dan yang berkulitas muslim kaffah.
3.
Aspek Proses Kenyataan
Dilihat dari aspek proses kenyataan
telah melahirkan bebagai aliran, di antaranya mekanisme, teleologisme,
vitalisme,dan organism. Mekanisme adalah aliaran pemikiran yang
berpandangan bahwa yang ada begerak berdasarkan asas-asas mekanik. Teologisme
adalah aliran pemikiran yang berpandangan bahwa kenyataan yang ada tiadak
semata-mata karena suatu hukum sebab akibat, namun karena ada tujuan tertentu.
Vitalisme adalah aliaran pemikiran yang berpendapat bahwa hakiakat kenyataan
tidak semata-mata terdiri atas unsur-unsur fisika-kimiawi semata, namun juga
ada asas hidup. Sedangkan organism adalah aliran pemikiran yang berpandangan
bahwa kenyataan hidup merupakan suatu struktur yang dinamakan suatu kebulatan
yang memiliki bagian-bagian yang heterogen, tetapi yang utama adanya system
yang teratur.
Kemudian, jika dilihat dari aspek
kuantitas kenyataan, ilmu dakwah mengembangkan gagasan pluralisme, maka dilihat
dari aspek kualitas kenyataan, ilmu dakwah harus mengembangkan aliran
pararelisme antara spiritualisme dan materialisme, maka dilihat dari proses
kenyataan, ilmu dakwah dapat mengembangkan pandangan teologisme dan vitalisme.
Kedua pandangan ini harus dikembangkan atas dasar asumsi bahwa manusia yang
menjadi objek dakwah selalu mengalami perubahan zaman. Hal ini membawa
konsekuensi sebagai berikut.
A.
manusia
yang selalu mengalami perubahan ini dapat mengandung pengertian positif
dan dapat juga mengandung pengertian negatif. Positif berarti perubahan itu
berlangsung kearah yang lebuh baik , dan negatif berarti perubahan ini
berlangsung kearah yang kurang baik. Akan tetapi dalm dua bentuk perubahan ini
posisi dakwah tetap sangat penting. Kepada mu’min yang sudah baik yang telah
menjalan ajaran islam, dakwah berfungsi untuk menjaga keimanan mereka agar
tetap baik,sedangkan yang belum menjalan ajaran islam dakwah berfungsi
menyadarkan mereka untuk merealisasikan ajaran islam dalam kehidupan
sehari-hari.
B.
Terkait
dengan perubahan social ini, maka materi dakwah yang akan di sampaikan harus
disesuaikan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, aspek relevansi materi ini
menjadi sangat penting di tengah-tengah perubahan social.
b.
Epistimologis
Ilmu Dakwah
1.
Konstruksi
Keilmuan Dakwah
Dalam tradisi keilmuan
islam berkembang system pemikiran atau episteme yang khas. Dalam konteks
ini, pemikiran Mohammae Abed al-Jabiri, seorang pemikir islam kotemporer
kelahiran maroko, mengenai system pemikiran yang berlangsung dalam dunia arab
merupakan suatu yang sangat berharga.
·
Episteme
Bayani
Menurut Al-jabiri, system indikasi serta
eksplikasi (bayani) merupakan system epistimologi yang paling awal muncul dalam
pemikiran Arab. Bahasa arab menjadi satu-satunya mediator sekaligus kerangka
referensial, karena bahasa arab dipandang sebagai bahasa Al-qur’an. Hal ini
merupakan konstruksi pemikiran yang telah diciptakan pada masa kodifikasi dan
telah dipergunakan sebagai legitimasi terhadap berbagi prinsip pengetahuan.
Karakteristik umum yang terkait dengan
episteme bayani ini antara lain membatasi diri pada wilayah bahasa dengan
menghindari ta’wil yang menganut pandangan la kaifa (tidak banyak
bertanya soal bagaimana dan mengapa), berpegang tegang teguh pada format-forma
bahasa dan bentuk-bentuk bayani (keindahan dan kekuatan bahasa bagai sihir yang
memukau) yang bersifat indrawi, membatasi diri pada suatu definisi yang
substansi dan hakikat, anti kuasa litas dan sebagai gantinya menganut pandangan
tentang munasabah (kesepadanan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya)
dan adah (hukum kebiasaan,hukum kepastian), menolak ide
ketakberhinggaan, dan segala yang berkaitan dengannya pro-qiyas fiqh
dalam setiap penalaran dan juga bertitik tolak dari pola baku fi’il (kata
kerja) dalam bahasa dan pemikiran serta mengkaitkan segala format bahasa dan
pikiran kebentu baku ini.
·
Episteme
Irfani
Tradisi irfani memiliki karakter yang
berbeda dari bayani. Menurut al- jabiri, sebagai sebuah system epistimologi,
irfani atau yang kemudian dikenal dengan illuminasi atau gnotisisme berasal
dari pemikiran timur dan tradisi pemikiran hermetisme. Sitem ini dibangun atas
dasar sebuah representasi yang di sebut “wahyu dalam dan ilham bathin”.
Prakti-praktik ni meliputi sufisme, pemikiran syi’ah, filsafat isma’ili,
filsafat illuminasi oriental, teosofi, magis, serta tafsir Al-Qur’an yang
bersifat esotorik-sufistik.
·
Episteme
Burhani
Berbeda dengan sistem episteme bayani
dan irfani, maka system episteme burhani memiliki karakteristik tersendiri.
System epistimologi burhani ini merupakan system epistimologi yang di dasarkan
pada penalaran rasional dan pembukuan pembuktian inferensialyang didasarka pada
pemikiran yunani, khusunya Aristoteles. Yang dibutuhkan oleh episteme burhani
adalah prinsip-prinsip dasar logika yang meyakinkan, yang kemudian dari sana
diteliti kesimpulan-kesimpulan atau inferensi yang secara pasti lahir dari
prinsip tersebut. Kepastian tersebut diukur menurut standar prinsip kualitas,
yang mengaitkan suatu akibat dab sebabnya.
·
Posisi
Ilmu Dakwah
Dakwah merupakan upaya menyampaikan
pesan yang yang dilakukan oleh seorang da’i kepada masyarakat (mad’u), sehingga
berlangsung hubungan komunikasi antara da’I dan mad’u yang bersifat
informative-komunikatif. Namun demikian, komunikasi tidak hanya bersifat
informative tetapi juga persuasif. Artinya komunikasi tidak hanya bertujuanagar
orang lain tahu dan mengerti, tetapi juga berharap agar orang lainmenerima
suatu paham, keyakinan atau melakukan suatu perbuatan tertentu. Dengan
demikian, dakwah dalam perspektif komunikasi bukan hanya penyampaian informasi,
tetapi juga pembentukan pendapat umum dan sikap public.
Kemudian
untuk sampai pada tujuan dakwah, maka terdpat proses dakwah yang harus dilalui
oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Pertam-tama komunikator menjadi (encode)
pesan yang akan disampaikan pada komunikan (receiver). Ini berarti ia
memformulasikan pikiran atau perasaanya kedalam lambang (bahasa) yang
diperkirakan akan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian menjadi giliran
komunikan (mad’u) untuk mengawa-sandi (decode) pesan dari
komunikator. Berarti menafsirkan lambang yang mengandung pikiran atau perasaan
komunikator dalam konteks pengertiannya. Jadi, komunikasi akan berhasil apabila
pesan yang dismpaikan komunikator cocok dengan kerangka acuan, yakni paduan
pengalaman dan pengertian yang pernah diperoleh komunikan. Dengan demikian,
komunikan selalu bersifat dialogis, sehingga ketika komunikan memberikan
jawaban, maka ia kini menjadi encoder dan komunikator yang menjadi decoder.
inilah suatu proses yang yang di namakan umpan balik (feedback).
2.
Metode
Keilmuan Dakwah
Salah satu persoalan penting yang
berhubungan dengan epistimologi dakwah adalah persoalan metode keilmuan. Secara
teknik metode ilmiah terdiri dari observasi, dan hipotesis suatu fenomena,
penyusunan hipotesis, melakukan uji eksperimental. Jika penelitian ini
mendukung hipotesis, maka ia diterima sebagai teori atau hukum alam, tetapi
jika penelitian ini tidak mendukung hipotesis, maka hipotesis ini harus ditolak
atau di modikfikasi.
Secara
umum, alur metode ilmiah dalam ilmu social hermeneutis kurang lebih sama dengan
metode ilmiah dalam ilmu social positivistic, kecuali dalam hal alat yang
digunakan untuk menguji hipotesis. Hal ini disebabkan oleh cara pandangan kedua
paradigma keilmuan tersebut dalam memahami objeknya. Dalam ilmu social
positivistic, objek dianggap terpisah dari subjek, sehingga subjek dianggap
mampu memahami objek secara objektif. Karena itu uji eksperimental dilakukan
oleh ilmu social positivistic dengan prinsip kebenaran verifikatif dalam ilmu
social-hermeneutis, objek tidak dianggap terpisah dari subjek, sehingga
subjektivitas hermeneut sulit dihindari. Akibatnya, kebenaran verifikatif
sebagai mana dirancang ilmu social-positivistis ditolak oeh ilmu
social-hermeneutis dan diganti dengan kebenaran intersubjektifitas.
c.
Aksiologis
Ilmu Dakwah
Ø Apa
Itu Nilai
Nilai merupakan sebuah
term yang mengandung makna yang lebih bersifat generic bila dibandingkan dengan
istilah moral dan etika. Nilai sering dipahami sebagai seperangkat moralitas
yang paling abstrak. Terdiri dari suatun perangkat keyakinan atau perasaan yang
diyakini sebagai suatu identitas yang member corak khusus pada pola pemikiran,
perasaan, keterikatan dan perilaku. Contohnya adalah nilai ketuhanan,
kemanusiaan dan keadilan. Nilai-nilai semacam ini mengandung pengertian yang
bersifat universal dan abstrak serta terbatas dari ikatan ruang dab waktu.
Karena bersifat universal dan abstrak,
maka nilai mebutuhkan penjabaran lebih lanjut agar ia bersifat operasional.
Penjabaran dari nilai ini selanjutnya sering disebut dengan moral. Dengan kata
lain, moral merupakan penjabaran dari nilai dalam bentuk yang lebih
operasional, meski tidak seoperasional etika.
Ø Ilmu
dan Pertimbangan Nilai
Perkembangan ilmu juga seringkali
melupakan gagasan dasar yang menjadi tujuan utama ilmu, yaitu untuk
mempermudahkan manusia dalam dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kenyataannya,
perkembangan ilmu sering melupakan factor manusia ini yang pada gilirannya melahirkan
paradox atau kontradiksi internal dalam tubuh ilmu itu sendiri. Di satu sisi
teknologi, kata para ilmuan, dikembangkan seiring dengan perkembangan dan
kebutuhan manusia. Di sisi yang lain, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.
Bukan teknologi yang menyesuaikan dengan kebutuhan manusia, tetapi manusialah
yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Dengan
kata lain ilmu bukan lagi sarana yang membantu manusia mencapai tujuan
hidupnya, tetapi juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Dalam banyak kasus,
tekhnologilah yang justru melahirkan kebutuhan manusia. Artinya, setelah
tekhnologi tercipta baru kemudian lahir kebutuhan manusia. Media iklan yang di
tayangkan televise barangkali merupakan salah satu contoh yang paling nyata.
Ø Ilmu
Dakwah dan Internalisasi nilai
Salah satu esensi dakwah adalah
transformasi sosial melalui internalisasi nilai-nilai positif dalam masyarakat.
Tujuannya adalah membangun masyarakat yang berperilaku positif-konstruktif
dalam rangka meraih kebahagiaan hidup yang sejati sesuai dengan nilai-nilai
yang disampaikan Allah melalui wahyu dan sunah Nabi. Melalui dakwah,
nilai-nilai yang ada dalam Al-qur’an dan sunah diupayakan untukl menjadi bagian
dari nilai yang tumbuh dalam kesadaran moral masyarakat untuk kemudian
masyarakat itu menghayati dan mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
historis-faktual.
Ø Dakwah
dan Rekayasa Sosial
Selain problem yang berkaitan dengan
relasi ilmu dan nilai. Problem aksiologis adalah problem yang berhubungan dengan
tujuan, fungsi, dan manfaat ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Berkaitan
dengan persoalan ini, setiap ilmu pengetahuan umumnya memiliki fungsi-fungsi
khusus dalam hubungannya dengan suatu objek pengetahuan.
Diantara
fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berkut. Pertama, lmu pengetahuan
berfungsi menjelaskan suatu fenomena. Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan
pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan
manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut
berdasarkan penjelasan yang ada. Fungsi kedua, ilmu pengetahuan
adalah meramalkan fenomena yang akan terjadi (fungsi prediktif), yaitu
meramalkan kejadian-kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehinnga manusia
dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha menghadapinya. Fungsi ketiga
ilmu pengetahuan adalah mengontrol alam agar dapat mngendalikan
peristiwa-peristiwa yang tidak di kehendaki. Dengan demikaian, ilmu merupakan
suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah itu
tidak lagi merupakan misteri. Penjelaskan ini akan memungkinkan manusia
meramalkan sesuatu yang akan terjadi, dan karenanya memungkinkan manusia
mengontrol gejala tersebut. Untuk itu, ilmu membatasi ruang jelajah kegiatannya
pada daerah pengalaman manusia.
Jadi,
fungsi ilmu adalah memberikan penjelasan, memprediksi proses dan produk yang
akan datang atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan
sebagai konfirmasi absolute atau probabalistik. Menampilkan informasi absolute
biasanya menggunakan landasan asumsi, postulat atau aksioma yang sudah
dipastikan kebenarannya. Sedangkan membuat penjelasan prediksi atau pun
pemaknaan untuk mengejar kepastian dapat ditempuh secara induktif, deduktif
ataupun reflektif, yang dalam ontology dikenal dengan pembuktian apriori dan
a posteriori.
IV.
KESIMPULAN
Ontologis ilmu dakwah
meliputi, aspek kuantitatif kenyataan telah melahirkan aliran ontology yaitu monisme,
dualisme, dan pkularisme. Aspek kualitatif kenyataan melahirkan
aliran materialism dan spiritualisme. Aspek proses kenyataan melahirkan
bebagai aliran, di antaranya mekanisme, teleologisme, vitalisme,dan
organism.
Epistimologi ilmu
dakwah meliputi, konstruksi keilmuan dakwah dan metode ilmu dakwah. Kontruksi
keil muan dakwah meliputi aspek sebagai berikut: episteme bayani, epiteme
irfani, episteme burhani, posisi ilmu dakwah.
Aksiologis ilmu dakwah
meliputi: apa itu nilai, ilmu dan paertimbangan nilai, ilmu dakwah dan
internalisasi nilai, dan dakwah dan rekayasa social.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah
yang dapat kami susun. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam hal
penulisan maupun isi makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran Kami
harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya yang lebih baik. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita.
DAFTAR PUSTAKA
Supena, Ilyas, Filsafat Ilmu
Dakwah Perspektif Filsafat Ilmu sosial, ABSOR Hidmah dan Ibadah : semarang,
2007.