Kumpulan
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Semesteran
Dosen
Pengampu : Ibu.
Jauharotul Farida
Mata
Kuliah : Islam
dan Kesetaraan Gender
Disusun
Oleh :
Risna
Nikita Noviana (091211064)
FAKULTAS
DAKWAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
GENDER DAN ISLAM
DALAM TEKS AL – QUR’AN
Gender artinya suatu
konsep, rancangan atau nilai yang mengacu pada sistemhubungan sosial
yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-lakidikarenakan
perbedaan biologis atau kodrat, yang oleh masyarakat kemudian
dibakukanmenjadi ’budaya’ dan seakan tidak lagi bisa ditawar, ini
yang tepat bagi laki-laki dan ituyang tepat bagi perempuan
Konsep relasi gender
dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender dalam
masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi
mikrokosmos
(manusia),
makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia
dapatmenjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah
sukses yang dapat mencapai
derajat
abid sesungguhnya.
Islam mengamanahkan
manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan,keserasian,
keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan
lingkunganalamnya.
Alqur’an dan
hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni
berbagai profesi. Konsep
kesetaraan dan keadilan gender serta memberikan ketegasan bahwa
prestasi individual baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir
profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin
saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yan sama meraih
prestasi yang optimal.
Tujuan al-Qur’an
adalah terwujudnya keadilan bagi masyarakat. Keadilan dalam al-Qur’an
mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai inividu
maupun sebagai anggota masyarakat. Al-Qur’an tidak mentolerir
segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis,
warna kulit, suku bangsa, kepercayaan, maupun yang berdasarkan
jenis kelamin.
Allah SWT telah
menciptakan manusia
yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan
kedudukan yang paling terhormat. Surat Ar-ram ayat 21, surat An-nisa
ayat 1, surat Hujurat ayat 13 yang pada intinya
berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan
yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang dan tentram,
agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi, agar
lahir dan menyebar banyak laki-laki
dan perempuan serta agar mereka saling mengenal.
Baik
perempuan maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai
khalifah, yang akan mempertanggung
jawabkan
tugas-tugas kekhalifahannya di bumi.Mereka
memikirkan apa yang mereka ketahui dan mereka alami di sekitar
mereka. Beberapa kitab tafsir ditulis secara khusus untuk membahas
ihwal wanita dan Al- qur’an. Jarang ditemukan seorang penafsir
selama ia adalah manusia dan hidup dalam budaya masyarakat tertentu
bisa melepaskan diri dari latar belakang budaya dan pendidikannya,
serta kemudian memahami dan menafsirkan Al-qur’an dari sudut
pandang lebih luas dan tak terikat oleh budaya.
Maryam as dan Yusuf
as merupakan personifikasi kesucian karena keduanya harus melewati
ujian-ujian yang intimidatif dan mampu keluar sebagai pemenang dan
suci. Namun begitu, terdapat sebuah perbedaan esensial diantara
keduanya. Pada hakikatnya, sebuah telaah yang seksama tentang kisah
Yusuf as dalam Al-Quran menyingkapkan salah satu tema utama, yakni
tipu
daya.
Saudara-saudara Yusuf as menipu ayah mereka dan berupaya untuk
membunuh Yusuf as. Yusuf as di kemudian hari menyembunyikan sebuah
gelas berharga dalam karung saudaranya dan menuduh saudaranya telah
melakukan pencurian. Al-Quran menyatakan bahwa Allah SWT mengajari
yusuf penggunaan tipu daya tadi.
Kehadiran al-Qur’ân
dalam kultur patriarkal tersebut pada gilirannya membawa implikasi
logis terhadap banyaknya wacana dan pesan yang ditujukan lepada
audiens laki-laki. Bahkan, meskipun pesan al-Qur’ân ditujukan
untuk kedua jenis kelamin tersebut akan tetapi seringkali digunakan
bahasa untuk laki-laki. Para ulama
menyebut
cara ini dengan li
al-taghlib.
Ini adalah sesuatu yang biasa dalam bahasa manapun. Walaupun begitu,
sangat jelas terbaca pula bahwa al-Qur’ân mengemukakan tematema
yang menyangkut dan diarahkan kepada perempuan dalam banyak ayat.
Ayat- ayat ini terbagi dalam dua katagori besar.
ISLAM
DAN GENDER DALAM HADIS DAN APLIKASINYA DALAM MASYARAKAT
Dari Abi Hurairah:
Nabi bersabda: “berwasiatlah
tentang perempuan, karena sesungguhnya mereka tercipta dari tulang,
dan tulang yang paling bengkok adalah yang tertinggi. Jika engkau
berusaha meluruskan berarti engkau merusaknya, jika dibiarkan maka
akan tetap bengkok”.
Sahih bukhari, Kitab Ahadis al-Anbiya, bab Khalq Adam wa dzurriyatuh,
no. 3084
Hadis yang
menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau
perempuan bagaikan tulang rusuk dari segi sanadnya bernilai shahih,
namun ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama dan sarjana
menyangkut matannya,
Pada kelompok yang
menerima, ada dua pendapat : yang pertama mengartikannya secara
tekstual, bahkan digunakan untuk menafsirkan QS.an-Nisa’ (4) ayat 1
tentang penciptaan manusia, sehingga menurut mereka Hawwa diciptakan
dari tulang rusuk Adam. Sementara yang kedua mengartikan hadis
tersebut secara metaforis, bahwa kaum laki-laki harus berlaku baik
dan bijaksana dalam menghadapi perempuan. Sementara kelompok yang
menolak hadis itu berargumen bahwa hadis tersebut harus ditolak
karena isinya tidak sesuai dengan ayat-ayat al-Quran.
jika penolakan
dilakukan karena kondisi istri sedang tidak sehat atau tidak
bergairah atau karena suami mengajak dengan kasar dan tidak
manusiawi, maka seharusnya suamilah yang mendapat laknat malaikat
karena dia dianggap melakukan nuzyus terhadap istri. Agak berbeda
dengan Al-quran, dalam hadist ada kesan posisi perempuan
terpinggirkan, sekalipun ada juga ditemukan hadist-hadist yang
memandang cukup respek terhadap kaum perempuan. Adapun teks hadist
yang memojokkan perempuan, misalnya penghuni neraka adalah perempuan,
perempuan kurang akalnya, perempuan kurang agamanya, setiap bebergian
wajib seizin suaminya, jika menolak ajakan suami di tempat tidur akan
di laknat malaikat sampai pagi atau puasa harus seizin suaminya.
Perempuan dihormati
oleh Islam, misalnya dalam kehidupan masyarakat muslim periode awal.
Oleh karena itu jika perempuan ingin merekonstruksi citranya, tidak
salahnya jika sekiranya mereka mau menengok kembali ke zaman muslim
ideal.
Apabila penafsiran
ini bersifat sosiologis dan kontekstual maka terbuka suatu
kemungkinan bagi terjadinya proses perubahan. Dengan kata lain,
posisi perempuan sebagi subordinat laki-laki juga mungkin di ubah
pada waktu sekarang, mengingat format kebudayaanya yang sudah
berubah.
Di kalangan
tertentu, fiqh lebih dekat dan menyentuh masyarakat dibanding dengan
al-Qur’an ataupun hadis. Apabila menghadapi persoalan aktual atau
kemasyarakatan, bagi kelompok ini mereferensi kepada fiqh adalah
keniscayaan dan dianggap sebagai sikap rendah hati serta hati-hati
dalam proses pengambilan hukum. Karena sikap yang demikian ini,
mereka sangat jarang mempersoalkan dalil-dalil hokum yang dipakai.
Perbedaan itu tampak
justru banyak terdapat dalam bidang ibadah mahdah yang bersifat
individual, yang semestinya posisi antara laki-laki dan perempuan
sama di hadapan Allah.Tentu saja persamaan ukuran atau kadar zakat
fitrah yang merupakan ibadah individual yang memiliki keterkaitan
dengan solidaritas sosial ini bukan saja memberi gambaran yang ideal
mengenai relasi manusia baik secara vertical maupun horisontal,
tapi juga sekaligus sebagai kritik atas ketimpangan format fiqh yang
selama ini ada.
Menurut penilaian
feminis, rumah tangga yang memposisikan suami sebagai pemimpin
terhadap istri, sebagaimana yang telah diyakini oleh umat Islam
umumnya, itu merupakan sebagai salah satu bentuk dominasi laki-laki
terhadap perempuan yang berimplikasi kesewenang-wenangan laki-laki
untuk berbuat semaunya terhadap perempuan.
Ath-thabari dalam
menafsirkan ar-rijalu qowwamuna ‘alan nisa’ menyatakan bahwa
kepemimpinan laki-laki atas perempuan itu didasarkan atas refleksi
pendidikannya serta kewajiban untuk memenuhi semua kewajiban yang
ditentukan oleh Allah. Hal ini pula yang menjadi sebab keutamaan
laki-laki atas perempuan, seperti tercermin dalam kalimat wa bima
anfaqu min amwalihim yang ditafsirkan sebagai kewajiban untuk
membayar mahar, nafkah, kifayah.
PEMIKIRAN
FEMINISME RIFFAT HASAN
Feminisme dalam
konteks ini, telah mencoba melakukan kedua hal tersebut, baik gerakan
yang mengarah pada proses penyadaran teologis dan psikologis
perempuan melalui kajian intensif bahkan upaya reinterpretasi
teks-teks keagamaan (Alqur’an dan Hadis), maupun gerakan struktural
yaitu cara mengadakan usulan kenaikan gaji buruh wanita, dekonstruksi
terhadap pelanggaran hak-hak asasi wanita dan lain
sebagainya.
Riffat Hasan, dalam
hal ini adalah salah satu feminis muslim yang dengan gigih
dan semangat meneliti secara intensif ajara-ajaran agama
yang berbicara masalah perempuan dan mereinterpretasikannya ke dalam
pemahaman yang lebih egaliter, bahkan bisa disebut sebagai teolog
feminis muslim yang vokal.
Hasil dari kajian
Riffat Hasan terhadap tradisi Islam menemukan adanya asumsi
teologis yang perlu mendapat perhatian, yaitu
mengenai konsep penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam, yang
karena itu bersifat derivatif dan sekunder, di samping gagasan
lainnya, yaitu bahwa perempuan bukan laki-laki adalah penyebab utama
dari apa yang biasanya dilukiskan sebagai “kejatuhan”atau
pengusiran manusia dari surga, dan bahwa perempuan diciptakan
tidak saja dari laki-laki, tapi juga untuk laki-laki,yang
membuat eksistensinya semata-mata bersifat instrumental dan tidak
memiliki makna yang mendasar.
Di sana hanya
disebutkan bahwa dari Nafs Wahidah (Adam) Diaciptakan zaujaha
(istrinya-Hawa). Redaksi seperti inilah yang potensial untuk
ditafsirkan secara berbeda. Untuk lebih mudah lihat
redaksi ayat pertama surat An-Nisa’ yang terjemahnya kurang
lebih: “Haisekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan istrinya, dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak.
Kontroversi
sebenarnya bukan pada siapa yangpertama, tapi pada penciptaan Hawa
yang dalam ayat disebutkan dengan lafal wa khalaqa minha zaujaha.
Masalahnya adalah apakah Hawa diciptakan dari tanah sama seperti
penciptaan Adam, atau diciptakan dari (bagian tubuh)
Adam itu
sendiri.
Menurut Riffat
Hasan tidak menyatakan bahwa Adam manusia pertama dan tidak
pula menyatakan bahwa Adam laki-laki. Adam adalah kata
benda maskulin, hanya secara linguistik, bukan menyangkut jenis
kelamin. Seperti halnya nafs wahidah, ia pun tidak memastikan
bahwa Adam itu perempuan, tapi menolak dengan tegas kalau Adam
harus laki-laki.
Menurut Riffat,
reinterpretasi hanya mungkin dilakukan dengan cara menguasai bahasa
Alqur’an dan tidak memperlakukan teks sebagai proof texts
(dalil-dalil keagamaan yang berharga mati), tetapi menempatkannya
pada konteks yang tepat.
Metodologi yang
digunakan Riffat adalah metodologi dekonstruksi metode yang
diperkenalkan oleh Jacques Derrida yang langkah awalnya memisahkan
hubungan monolinier antara teks dengan makna (tafsirnya). Keyakinan
bahwa ada hubungan yang final antara suatu teks dengan tafsir
tertentu, mesti dibongkar. Sebab keyakinan semacam itu akan
menimbulkan berbagai dampak negatif. Pertama,
fanatisme terhadap tafsir tertentu, serta menolak kemungkinan
keabsahan tafsir yang lain. Kedua,
akan menutup kemungkinan terbukanya teks terhadap berbagai
penafsiran. Ketiga,
suatu teks yang telah diklaim melalui peresmian satu tafsir saja,
akan menyebabkan teks itu tak bermakna lagi dalam menghadapi derasnya
perubahan social pada zaman modern saat ini.
Riffat Hasan
mengartikan qawwamun seperti yang pernah dikemukakan oleh Fazlur
Rahman– bukanlah pemimpin atau pengatur perempuan, tetapi menurut
Riffat term qawwamun adalah sebuah term ekonomis, dan bukan biologis.
Hadits-hadits tentang perempuan merupakan objek paling banyak dicecar
kaum sekuler dan orientalis. Mereka menuduhnya berisi penghinaan
terhadap perempuan atau menganggap hukum-hukumnya tidak lagi relevan
dalam konteks modern.
Dalam satu
kesempatan, Riffat berpendapat bahwa hadits ini diambil dari Injil
dan pada kesempatan lain, ia mengatakan bahwa hadits ini bertentangan
dengan penciptaan manusia Tendensi kebencian ini tampak ketika Riffat
menutup makalahnya dengan menuliskan hal berikut. "Melihat
betapa pentingnya masalah ini, maka sangat perlu bagi setiap aktivis
hak asasi perempuan Islam untuk mengetahui keterangan dalam Al-Qur'an
bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sama telah diubah oleh
hadits.
Hak Perempuan
dalam Islam
Asghar
Ali Engineer
Asghar
Ali Engineer dilahirkan di Rajasthan (dekat Udaipur, India) tahun
1939. Ia mendapatkan gelar doktor dalam bidang teknik sipil dari
Vikram University (Ujjain,India). Perkawinan sangatlah penting dalam
kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan
perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara
terhormat sesuai kedudukan, manusia sebagai makhluk yang
berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana
damai, tentram dan penuh rasa kasih sayang antara suami dan isteri.
Berkaitan
dengan persoalan di atas kemudian muncul seorang tokoh feminis muslim
asal India, yaitu Asghar Ali Engineer, yang mempunyai pendapat
berbeda dengan fuqaha yang lain mengenai pemberian nafkah bagi isteri
yang telah dicerai. Dia adalah seorang Direktur Institut of Islamic
Studies, Bombay, India. Menurut Asghar adalah jauh dari rasa keadilan
bila isteri yang dicerai harus dipelihara oleh orang tua atau
kerabatnya setelah periode ‘iddah, benar bahwa dalam hukum Islam
seorang yang telah dicerai berhak mendapatkan nafkah hanya selama
masa ‘iddah, setelah itu dia bebas untuk kawin lagi atau kembali
kepada orang tuanya atau jika sudah tidak punya orang tua atau kepada
kerabatnya.
Sedangkan dasar
filosofis yang dikemukakan Asghar adalah bahwa semua manusia adalah
sama, merdeka dan makhluk berakal yang memberi kecenderungan kepada
persamaan dan keadilan. Oleh karena itu secara natural akan selalu
melawan segala bentuk penindasan, diskriminasi dan ketidakadilan
dalam segala hal.
FEMINISME
DALAM ISLAM
(
Tokoh Amina Wadud)
Feminisme adalah
paham yang beragam, bersaing dan bahkan bertentangan dengan teori
sosial. Gerakan politik dan falsafah moral. Kebanyakan faham ini di
motifasi dan difokuskan perhatiannya pada pengalaman
perempuan.khususnya dalam istilah ketidakadilan sosilal.p[olitik dan
ekonomi. Salah satu tipe utama feminisme secara intitusional
difokuskan pada pada pembatasan ketidakadilan gender untuk
mempromosikan berbagai hak,kepentingan dan isu-isu kaum perempuan
dalam masyarakat.feminisme
sudah dikenal sejak awal tahun 1970-an. Terutama sejak
tulisan-tulisan mengenai feminisme muncul di jurnal-jurnal dan surat
kabar. Akan tetapi sampai akhir tahun 1980-an, orang masih takut
untuk melakukan sesuatu yang terkait dengan feminisme, apalagi
menggunakannya sebagai pisau bedah dalam memahami Islam. Baru
kemudian pada tahun 1990-an
Secara umum
feminisme Islam merupakan alat analisis maupun gerakan yang bersifat
historis dan kontekstual sesuai dengan kesadaran baru yang berkembang
dalam menjawab masalah-masalah perempuan yang aktual menyangkut
ketidakadilan dan ketidaksejajaran, di mana hal ini ditinjau dari
perspektif jender. Para feminis muslim ini menuduh adanya
kecenderungan missoginis dan patriarkhi di dalam penafsiran teks-teks
keagamaan klasik sehingga menghasilkan tafsir-tafsir keagamaan yang
bias dengan kepentingan laki-laki.
Apa yang khas dari
feminisme Islam ini adalah dialog yang intensif antara
prinsip-prinsip keadilan dan kesederajatan yang ada dalam teks-teks
keagamaan, dengan realitas perlakuan terhadap perempuan yang ada atau
hidup dalam masyarakat muslim. Pendekatan feminis dalam studi agama
merupakan suatu transformasi kritis dari perspektif teoritis yang ada
dengan menggunakan jender sebagai kategori analisis utamanya. Feminis
religius berkeyakinan bahwa feminisme dan agama keduanya sangat
signifikan bagi kehidupan perempuan dan kehidupan kontemporer pada
umumnya.
Adanya kesadaran
akan ketertindasan dalam dimensi kritis di atas, menjadikan
pendekatan feminis terkesan memihak dan tidak jarang menggugat.
Keberpihakan feminis terhadap nasib kaum perempuan dianggap sebagai
ancaman bagi kaum laki-laki yang berusaha untuk mempertahankan status
quo.
Amina Wadud
ialah seorang wanita, feminis,
dan cendekiawan
yang penuh kontroversi. Amina Wadud dilahirkan pada 25 September 1952
di Bethesda,
Maryland. Bapanya
merupakan seorang paderi Methodist
dan ibunya pula berketurunan hamba dari Arab,
Berber dan Afrika
pada kurun ke-lapan Masehi.
Kajian-kajian Amina
Wadud tertumpu kepada jantina dan al-Qur'an. Beliau telah menulis
untuk subjek berkenaan dalam bukunya Qur'an
and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective
(Qur'an dan Wanita: Pentafsiran Kembali Ayat-Ayat Suci dari Kaca Mata
Wanita). Edisi pertama buku tersebut diterbitkan oleh Sisters
in Islam
di Malaysia dan menjadi rujukan.
Amina Wadud menjadi
subjek hangat di dalam perbincangan undang-undang Islam apabila
beliau menjadi imam
untuk Solat Jumaat kepada 100 orang lelaki dan perempuan di Gereja
Besar Keuskupan St.
John the Divine
di New
York
pada 18 Mac 2005. Tindakan beliau ini memecah tradisi Islam bahawa
hanya lelaki boleh menjadi imam dalam solat lebih-lebih lagi bagi
Solat Jumaat (wanita dibenarkan menjadi imam untuk makmum yang
terdiri dari kalangan wanita).
Tidak ada ayat
dalam al-Qur’an yang menyebutkan bahwa wanita tidak boleh menjadi
imam. Pada abad ke-7, Nabi Muhammad pernah mengizinkan wanita menjadi
imam bagi jamaah laki-laki dan perempuan. Nabi Muhammad meminta Ummu
Waraqah menjadi imam dalam shalat jum’at bagi jamaah di luar
kota madinah.
Feminisme
dalam Islam
Prespektif
Husein Muhammad
Kyai kelahiran
cirebon 9 Mei 1953 ini, kerap menjadi narasumber dalam berbagai
pertemuan yang mendialogkan isu keadilan, demokrasi, dan pemberdayaan
Perempuan. Bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
Misalnya, sebagai pembicara dalam konferensi internasional bertema
“Trends in Family Law Reforms in Muslim Countries” d Ada
alasan-alasan yang memperbolehkan perempuan itu jadi imam shalat dan
ada yang tidak memperbolehkannya. Dan alasan perempuan boleh menjadi
imam shalat tergantung dari perempuan itu pandai membaca alquran,
ahli fikih, dan pandai diantara semuanya. Serta dalam alquran pun
tidak pernah menyebutkan soal laki-laki dan perempuan, justru yang
ditekankan itu adalah kemampuan individu, bukan jenis kelaminnya.
Jadi kalau perempuan itu memenuhi syarat-syarat boleh saja menjadi
imam shalat.i Kuala Lumpur, Malaysia.
Hak
Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap
orang sejak ia dilahirkan. Ia berlaku universal (berlaku bagi semua
orang di mana saja dan kapan saja). Hak ini merupakan anugerah Tuhan
Yang Maha Esa. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuatan
apapun yang bisa mengurangi atau mencabut hak tersebut.
Jan
Materson dari komisi HAM PBB merumuskan Hak Asasi Manusia sebagai
hak-hak yang melekat pada setiap manusia yang tanpa hak-hak tersebut
manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
bahwa
Hak-hak Asasi Manusia menurut DUHAM antara lain mencakup :
1.
Hak persamaan dan kebebasan dari diskriminasi jenis apapun
2.
Hak untuk kehidupan kemerdekaan dan keamanan pribadi
3.
Hak atas kebebasan dari penganiayaan dan perlakuaan merendahkan
4.
Hak persamaan di depan hukum dan hak untuk mendapatkan keadilan
5.
Hak ikut dalam pemerintahan
6.
Hak untuk bekerja
7.
Hak untuk memiliki standar kehidupan yang cukup untuk kesehatan dan
kesejahteraan
8.
Hak untuk memperoleh pendidikan
Teks-teks
suci Islam yang di dalamnya disebut kata adil atau keadilan
memperlihatkan bahwa ia merupakan gabungan nilai moral dan sosial
yang menunjukkan kejujuran, keseimbangan, kesetaraan, kebajikan, dan
kesederhanaan. Nilai moral ini menjadi inti visi agama yang harus
direalisasikan manusia dalam kapasitasnya sebagai individu, keluarga,
anggota komunitas, maupun penyelenggara negara.
Dari sinilah kita
perlu membangun kembali makna keadilan berdasarkan konteks sosial
baru dan dengan paradigma keadilan substantif sebagaimana sudah
dikemukakan pada awal tulisan. Penyusunan makna keadilan bagi
perempuan dalam konteks ini harus didasarkan pada dan dengan
mendengarkan pengalaman perempuan korban. Pemenuhan keadilan
bagaimanapun hanya dapat tercapai jika kebudayaan dan tradisi
masyarakat menunjukkan pemihakannya kepada korban.
RELEVANSI
PEMIKIRAN FEMINIS MUSLIM
DENGAN
BARAT
Feminisme adalah
idiologi yang dikembangkan oleh kalangan Eropa Barat dalam rangka
memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia: laki-laki dan
perempuan. Tujuan mereka adalah menuntut keadilan dan pembebasan
perempuan dari kungkungan agama, budaya, dan struktur kehidupan
lainnya.
Seiring
perjalanannya, feminisme barat dalam memperjuangkan hak-haknya dan
mewujudkan cita-citanya, sering mengabaikan pengalaman perempuan dari
latar belakang budaya yang berbeda dengan mereka. Padahal konsep
gender yang mereka populerkan adalah menyamakan dan mensetarakan
posisi laki-laki dan perempuan yang ditentukan oleh sosial dan budaya
tergantung pada tempat atau wilayahnya. Feminisme barat atau sering
disebut feminisme arus utama, tidak memperdulikan ragam budaya yang
mempengaruhi perempuan itu sendiri, sehingga perempuan yang berada di
negara berkembang (dunia ketiga) disebut oleh feminis barat sebagai
perempuan yang bodoh, terbelakang, buta huruf, tidak progresif dan
tradisional.
Gerakan feminis
telah lama mendapat sambutan kuat di dunia Islam. Jantung diskursus
gerakan feminis Islam adalah isu reinterpretasi progresif terhadap
Alquran, seperti sedang dikaji antara lain oleh Riffat Hasan dan All
Asghar Engineer.
Sebenarnya
kedatangan Islam pada abad ke-7 M membawa revoulusi gender. Islam
hadir sebagai ideologi pembaharuan terhadap budaya-budaya yang
menindas perempuan, merubah status perempuan secara drastis. Tidak
lagi sebagai second
creation
(mahluk kedua setelah laki-laki) atau penyebab dosa.
Hakikat feeminisme
adalah gerakan transformasi sosial, dalam arti tidak selalu hanya
memperjuangkan masalah perempuan belaka. Dengan demikian strategi
perjuangan gerakan feminisme dalam jangka panjang tidak sekedar dalam
upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan saja atau
hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya,
seperti exploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereotype,
kekerasan dan penjinakan belaka, melainkan perjuangan transformasi
sosial ke arah penciptaan stuktur yang secara fundamental baru dan
lebih baik.
Islam
Adalah Agama Yang Ramah Gender
Kisah-kisah
ketegasan Nabi SAW dan para sahabat memberi inspirasi kepada umat
Islam. Bahwa konsep rahmahtan
lil ‘alamin
tidak selamanya berisi perkataan lembut terus, namun juga tegas.
Sikap tegas dilakukan jika berpotensi memantik konflik sosial dan
membuat penistaan terhadap ajaran-ajaran sakral, demi melindungi
keyakinan Islam yang suci.
Apa yang dilakukan
Nabi SAW yang mengusir orang Yahudi, merobohkan masjid Dhirar dan Abu
Bakar yang memerangi orang-orang yang menghina agama tidak dilakukan
berdasarkan kebencian dan nafsu. Beliau juga tidak serta merta tanpa
prosedur sebelumnya. Diberi peringatan terlebih dahulu dan diminta
taubat kepada Allah SWT. Setelah itu baru ditindak. Sikap ini tegas,
bukan keras.
Hal tersebut
dilakukan karena Nabi SAW dan Abu Bakar mencintai umatnya.
Menyelamatkan dari siksa neraka kelak lebih diprioritaskan daripada
membiarkannya dengan tenang dalam kesesatan. Seorang ibu yang sayang
kepada anaknya terkadang perlu sekali-kali menjewer anaknya jika si
anak bandel bermain-main api yang bisa membahayakan fisiknya. Biar si
anak jera, setelah berkali-kali dilarang. Ketegasan Nabi SAW dan Abu
Bakar juga memberi pelajaran kepada musuh yang lainnya agar tidak
meniru jejak kelompok yang membangkang. Di sini artinya, Nabi SAW
masih sayang kepada musuh lainnya agar tidak ikut terjebak kepada
kesesatan.
Dalam interaksi
muslim dengan non-muslim atau kepercayaan yang berbeda, Islam
memiliki dua konsep penting; toleransi dan berdakwah. Toleransi
(samahah)
merupakan ciri khas dari ajaran Islam. Islam mempunyai kaidah dari
sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa
ikraaha fi al-dien (tidak
ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur
dakwah dalam Islam. Dakwah dalam Islam bersifat mengajak, bukan
memaksa. Dari kaidah inilah maka ketika non-muslim (khususnya kaum
dzimmi) berada di tengah-tengah umat Islam atau di negara Islam, maka
mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam bahkan dijamin keamanannya
karena membayar jizyah
sebagai jaminannya.
Toleransi antar
umat
beragama dalam muamalah duniawi, Islam menganjurkan umatnya untuk
bersikap toleran, tolong-menolong, hidup yang harmonis, dan dinamis
di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan ras mereka.
Dalam hal ini Allah berfirman (yang artinya), “Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim”
(QS
Al-Mumtahanah: 8-9).
Imam al-Syaukani
dalam Fath
al-Qadir menyatakan
bahwa maksud ayat ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik kepada
kafir
dzimmi, yaitu
orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam
menghindari peperangan dan tidak membantu orang kafir lainnya dalam
memerangi umat Islam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak
melarang bersikap adil dalam bermuamalah dengan mereka. Kafir
dzimmi
itu dilindungi karena taat pada kepemimpinan Islam dan tidak
menyebarkan kesesatan kepada umat Islam. Bahkan umat Islam dilarang
mendzalimi ahl
al-dzimmi ini.
Berbuat baik dan
bersikap bijak dengan ahl
al-dzimmi
tidak menghalangi Islam untuk berdakwah. Mereka tetap kita dakwahi,
tapi bukan bersifat memaksa. Namun tidak ada kompromi terhadap
penyimpangan agama, penistaan atau pencampuradukkan agama atas nama
toleransi. Jika ada penyimpangan dan penistaan – yang bisa
memancing konflik sosial – Islam segera mencegahnya, tidak boleh
dibiarkan, seperti yang telah dilakukan oleh Nabi SAW dan Abu Bakar
dalam keterangan di atas.
Adapun keikutsertaan
seorang Muslim dalam ritual non-Muslim termasuk dalam kategori
tolong-menolong dalam kebatilan, dosa, dan sesuatu yang diharamkan
oleh Allah. Ini bukan toleransi tapi bentuk sinkritisme. Allah
berfirman (yang artinya), “Dan
janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil, dan
janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedangkan kamu mengetahui”
(QS
Al-Baqarah: 42). Imam al-Thabari menukil penjelasan Imam Mujahid
(murid Ibnu Abbas) mengenai maksud ayat “Dan
janganlah kamu campuradukkan yang haq dengan yang batil” adalah
mencampuradukkan ajaran Yahudi dan Kristen dengan Islam.
Sekarang yang harus
dipahami bersama, baik umat Islam atau umat non-muslim, Islam
menjamin kebebasan beragama dan mengakui kemajemukan. Tempat ibadah
non-muslim dan kepercayaan aliran lain tidak boleh diganggu. Islam
juga terbuka membuka dialog-dialog cerdas. Namun, jika ada aktifitas
dan gerakan publik menista kesakralan, aparat harus bertindak tegas.
Sebab, masing-masing agama memiliki nilai kesakralan yang jika diusik
memantik emosi pengikutnya. Segala bentuk penodaan dan pelecehan
nilai-nilai sakral mestinya dilarang, apalagi jika digelar secara
publik. Pengikut dari agama yang dinodai jelas memiliki hak untuk
melakukan pembelaan.