Tokoh Syekh ABDUL WAHAB BUGIS , KH. AHMAD DAHLAN dan KH.AHMAD M .ASY’ARI
Disusun
Guna Untuk Memenuhi Tugas Semesteran
Mata
Kuliah : Islam Kebudayaan Jawa
Dosen
Pengampu : Bp Ahmad Anas
Disusun Oleh :
Risna Nikita Noviana
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
A. Pendahuluan
Sejarah
permulaan masuk dan perkembangan dakwah Islam di Kalimantan Selatan tidak bisa
lepas dari jasa, peranan dan perjuangan dari para ulama dan tokoh-tokoh Islam
yang hidup pada masa dahulu. Karena berkat jasa dan perjuangan merekalah Islam
berkembang dan menjadi pegangan hidup masyarakat Banjar sekarang. Di samping
itu kehadiran mereka di Bumi Kalimantan telah menjadikan daerah ini kaya dengan
khazanah intelektual Islam.
Dalam pandangan Karel S. Steenbrink
dinyatakan bahwa Kalimantan Selatan (Banjarmasin) dalam catatan sejarah pernah
menjadi pusat studi Islam yang banyak menghasilkan karya-karya keagamaan dan
sastra, selain daerah Palembang dan Aceh, namun belum pernah mendapat perhatian
yang intensif bagi usaha pengkajian sekaligus kodifikasi terhadap karya-karya
tersebut. Sehingga wajar melalui ketokohan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan
Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, Banjarmasin memerankan peranan yang cukup
penting dalam jaringan ulama nusantara abad ke-18 dan akhir abad ke-19,sebagaimana
yang dinyatakan Azyumardi Azra dalam bukunya yang berjudul “Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII”.
Bahkan dalam tutur lisan masyarakar
Banjar, jauh sebelum kehadiran kedua tokoh ini, daerah Muning Tatakan Rantau
dengan maskotnya, Syekh Ahmad Sirajul Huda atau Datu Sanggul murid dari Datu
Suban telah lama dikenal sebagai daerah orang-orang yang berilmu tinggi,
sehingga menarik perhatian orang untuk mendatanginya, sebagaimana yang terjadi
pada diri Datu Sanggul. Menurut riwayat Datu Sanggul atau Syekh Ahmad Sirajul
Huda atau Syekh Abdus Samad atau Syekh Abdul Jalil sebenarnya bukanlah orang
Muning Tatakan, namun berasal dari Palembang, dan ada pula yang menyatakan
berasal dari Aceh atau Hadramaut. Kedatangannya ke Muning Tatakan karena
mendapat petunjuk dari gurunya untuk menuntut ilmu kesempurnaaan (Ilmu
Tasawuf) kepada Datu Suban, yang dikenal sebagai gurunya para datu di daerah
tersebut.
Namun sangat disayangkan, budaya tutur
lisan yang berkembang dalam masyarakat Banjar, menyebabkan tidak
terdokumentasinya secara lengkap khazanah intelektual ulama di daerah ini.
Dibanding dengan daerah lain, khazanah intelektual Banjar tergolong “miskin”,
sehingga ada beberapa tokoh, sejarah hidup, perjuangan, dan pemikiran mereka
yang tidak terekspos secara luas ke tengah-tengah masyarakat generasi sekarang,
salah satunya adalah Syekh Abdul Wahab Bugis. Padahal tesis yang mengemuka,
jasa dan peranan beliau dalam bahu-membahu dengan Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari sendiri guna membina masyarakat Banjar tidaklah kecil. Di samping
pula dalam konsep jaringan ulamanya Azyumardi Azra, Syekh Abdul Wahab Bugis
dimasukkan sebagai salah seorang ulama Indonesia-Melayu yang paling penting di
Nusantara pada abad ke delapanbelas, karena keterlibatannya secara sosial
maupun intelektual dalam jaringan ulama tersebut. Siapakah sebetulnya Syekh
Abdul Wahab Bugis dan bagaimana peranan dakwahnya di tanah Banjar?
B. Pigur Syekh Abdul Wahab Bugis
Berdasarkan pendapat dari Karel S.
Steenbrink sebenarnya riwayat hidup seorang tokoh dapat dilacak melalui dua
sumber utama. Pertama, sumber intern, yakni sumber yang berasal dari
tokoh itu sendiri, misalnya karya tulis, biografi tentang sejarah hidupnya atau
sumber tertulis lainnya. Kedua, sumber ekstern, yakni tulisan-tulisan
yang mengetengahkan tentang riwayat hidup dan perjuangan dari seorang tokoh.
Dalam konteks ini pendekatan pertama
yang bersifat intern tidak bisa diterapkan, karena sampai sekarang tidak pernah
ditemukan satupun karya tulis, buku, risalah, atau kitab karangan Syekh Abdul
Wahab Bugis yang bisa dibaca dan ditelaah. Sedangkan pendekatan kedua yang
bersifat ekstern yang mengetengahkan tentang riwayat hidup dan perjuangannya
juga sangat terbatas dan sedikit sekali, bahkan hampir-hampir tidak ada.
Sehingga wajar, walaupun Azyumardi Azra memasukkan Syekh Abdul Wahab Bugis
sebagai salah seorang tokoh penting dalam konsep jaringan ulamanya, namun
pengungkapan data, riwayat hidup, karier, dan perjuangannya sendiri sedikit
sekali.
Melihat dari namanya, Syekh Abdul Wahab
Bugis ―selanjutnya ditulis Abdul Wahab― orang sudah bisa menduga bahwa
sebenarnya ia bukanlah asli orang Banjar, karena memang ia berasal dari Bugis,
Makasar, Sulawesi Selatan. Tepatnya, menurut Abu Daudi, Abdul Wahab adalah
seorang berdarah bangsawan, ia keturunan seorang raja yang berasal dari daerah Sadenreng
Pangkajene, dan dilahirkan di sana. Sebagai seorang yang berdarah bangsawan
ia diberi gelar Sadenring Bunga Wariyah. Jadi nama lengkapnya adalah Abdul
Wahab Bugis Sadenreng Bunga Wariyah.
Tidak diketahui secara pasti kapan ia
dilahirkan. Perkiraan penulis, Abdul Wahab dilahirkan antara tahun 1725-1735 M,
mengingat usianya yang lebih muda dibandingkan dengan Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari yang dilahirkan pada tahun 1710 M.Kedatangan Abdul Wahab ke Tanah
Banjar seiring dengan kepulangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari setelah
menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah selama lebih kurang 35 tahun, yakni pada
tahun 1772 M. Pada saat itu yang memerintah di kerajaan Banjar adalah Pangeran
Nata Dilaga bin Sultan Tamjidullah, sebagai wali putera mendiang Sultan
Muhammad Aliuddin Aminullah (1761-1787 M), yang kemudian sejak tahun 1781-1801
M secara resmi memerintah sebagai raja Banjar dan bergelar Sultan Tahmidullah
II bin Sultan Tamjidullah.
Abdul Wahab mengikuti Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari setelah dinikahkan dengan Syarifah. Walaupun kemudian
diketahui bahwa Syarifah sendiri telah dinikahkan dengan Usman dan telah
mendapatkan satu orang anak, bernama Muhammad As’ad. Tetapi setelah diteliti
oleh Syekh Muhammad Arsyad berdasarkan hitungan Ilmu Falak maka disimpulkan
bahwa pernikahan Abdul Wahab dengan Syarifah yang dilakukan oleh Syekh Muhammad
Arsyad dengan kedudukan Wali Mujbir di Mekkah lebih terdahulu waktunya
daripada pernikahan Syarifah dengan Usman melalui Wali Hakim di
Martapura. Karena itulah akhirnya pernikahan Usman dan Syarifah difasakh
atau dibatalkan, dan ditetapkan bahwa Abdul Wahab-lah yang menjadi suami
Syarifah
Hasil
perkawinannya dengan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad ini melahirkan dua
orang anak, masing-masing bernama Fatimah dan Muhammad Yasin. Fatimah binti
Syekh Abdul Wahab Bugis kemudian dikawinkan dengan H.M. Said Bugis dan
melahirkan dua orang anak, yakni Abdul Gani dan Halimah, sedangkan Muhammad
Yasin tidak memiliki keturunan. Abdul Gani anak Fatimah kemudian kawin dengan
Saudah binti H. Muhammad As’ad dan juga melahirkan dua orang anak, namun
keduanya meninggal dunia. Sementara, Halimahpun juga tidak memiliki keturunan.
Lebih jelas silsilah keturunan Abdul Wahab dari perkawinannya
dengan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dapat digambarkan dalam
skema berikut:
Abdul
Ghani + Saudah binti M. As’ad anak Syarifah dan Usman. Dari perkawinannya ini
Abdul Ghani mendapat dua orang anak, namun keduanya meninggal waktu kecil.
Abdul Ghani kemudian kawin lagi dengan seorang wanita dari Mukah Sarawak dan
mendapatkan lagi dua orang anak, yakni M. Sa’id dan Sa’diyah
|
Halimah(tidak
mempunyai zuriat)
|
Tekad Abdul Wahab yang bulat untuk memperjuangkan dakwah
Islam dan mengamalkan ilmu yang telah didapat ketika belajar di Mesir maupun di
Madinah, serta ikrar yang ia ucapkan bersama teman-temannya tatkala ingin
kembali ke tanah air, semakin menguatkan keinginannya untuk mengabdikan ilmu
dan baktinya di Tanah Banjar.
C. Pendidikan dan Ketokohan
Abdul Wahab dikenal sebagai salah
seorang dari tokoh “empat serangkai”, yakni Syekh Abdurrahman al-Misri, Syekh
Abdus Samad al-Palimbani, dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang memiliki
akhlak dan kepribadian sebagaimana akhlak dan kepribadian yang dimiliki oleh
tokoh empat serangkai lainnya. Mereka berempat, oleh Abu Daudi digambarkan
sebagai empat serangkai yang seiring sejalan, yang mendapat pendidikan dari
guru yang sama, yang sama-sama mengutamakan ilmu dan amal, dan empat serangkai
yang sama-sama pulang bersama serta mengemban tugas yang serupa. Abdul
Wahab adalah sahabat sekaligus menantu dari Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari.
Jika Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh
Abdus Samad al-Palimbani lebih banyak memanfaatkan waktu mereka untuk menuntut
ilmu di kota Mekkah, maka Abdul Wahab bersama dengan sahabatnya Syekh
Abdurrahman al-Misri lebih banyak menggunakan waktu mereka menuntut ilmu di
kota Mesir. Kuat dugaan ia menuntut ilmu di Mesir lebih kurang 20 tahunan,
sehingga dalam tulisan Abu Daudi, Abdul Wahab tercatat sebagai salah seorang
murid dari Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin
Sulaiman al-Kurdi. Itulah sebabnya ia mengiringi gurunya ke kota Madinah
ketika gurunya itu hendak mengajar, mengembangkan pengetahuan agama, dan Ilmu
Adab serta mengadakan pengajian umum.
Di kota Madinah inilah kemudian empat
serangkai bertemu dan selanjutnya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdus
Samad al-Palimbani pun mengikuti majelis pengajian Syekh Muhammad Sulaiman
al-Kurdi, yang kemudian memicu lahirnya tulisan Syekh Muhammad Arsyad yang
berjudul “Risalah Fatawa Sulaiman Kurdi”. Risalah ini berupa naskah yang isinya
menerangkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari kepada Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi tentang
keadaan atau tindakan Sultan Banjar yang memungut pajak dan mengenakan hukuman
denda bagi mereka yang meninggalkan shalat Jum’at dengan sengaja karena malas,
serta berbagai masalah lainnya. Risalah ini ditulis dalam bahasa Arab, dan
belum pernah diterbitkan, namun naskah asli tulisan beliau sampai sekarang
masih ada dan tetap tersimpan dengan baik pada salah seorang zuriat beliau di
desa Dalam Pagar Martapura.
Kemudian atas anjuran dari Syekh
Muhammad Sulaiman al-Kurdi pula, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh
Abdus Samad al-Palimbani yang haus ilmu pengetahuan yang semula berniat dan
berencana untuk menambah ilmu ke Mesir tidak jadi berangkat ke sana, sebab ilmu
pengetahuan yang mereka miliki telah dianggap cukup, selanjutnya mereka
disarankan untuk segera pulang ke tanah air guna mengamalkan dan mengembangkan
ilmu yang telah didapat.
Menurut riwayat, selama di kota
Madinah, “empat serangkai” juga belajar Ilmu Tasawuf kepada Syekh Muhammad bin
Abdul Karim Samman al-Madani, seorang ulama besar dan Wali Quthub di
Madinah, sehingga akhirnya mereka berempat mendapat gelar dan ijazah khalifah
dalam tarekat Sammaniyah Khalwatiyah.Di samping tercatat sebagai murid dari Syekh Muhammad bin
Abdul Karim Samman al-Madani, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi , dan Syekh
Athaillah bin Ahmad al-Misri, Abdul Wahab juga berguru kepada Abdul al-Mun’im
al-Damanhuri, Ibrahim bin Muhammad al-Ra’is al-Zamzami al-Makki (1698-1780 M)
yang terkenal sebagai ahli Ilmu Falak (Astronomi), Muhammad Khalil bin Ali bin
Muhammad bin Murad al-Husaini (1759-1791 M) yang terkenal sebagai ahli sejarah
dan penulis kamus biografi Silk al-Durar, Muhammad bin Ahmad al-Jauhari
al-Mishri (1720-1772 M) yang terkenal sebagai seorang ahli hadits, Athaillah
bin Ahmad al-Azhari, al-Mashri al-Makki, yang juga terkenal sebagai seorang
ahli hadits ternama serta dianggap sebagai isnad unggul dalam telaah hadits.
Dengan demikian jelas, bahwa guru-guru
terkemuka Abdul Wahab di atas juga merupakan guru-guru dari tokoh empat
serangkai yang lainnya.
D. Perjuangan Dakwah
Di samping Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari sebagai motor penggerak utama kegiatan dakwah Islam di Tanah Banjar,
Abdul Wahab juga memiliki peran yang sangat penting dalam mengembangkan Islam
di Tanah Banjar, mengingat kedudukan dan figur Abdul Wahab sebagai seorang
ulama yang dikenal alim dan sekian lama menuntut ilmu di Mesir dan daerah Timur
Tengah.
Perjuangan utama Abdul Wahab Di Tanah Banjar sendiri
adalah membantu Syekh Muhammad Arsyad mendakwahkan Islam di wilayah kerajaan
Banjar yang waktu itu belum begitu berkembang. Mulai dari mengajarkan Islam
kepada keluarga kerajaan, mendidik kader-kader dakwah, sampai dengan membangun
desa Dalam Pagar, yang kemudian berkembang menjadi pusat penyebaran dan
pengajaran Islam di Kalimantan.
Pertama, mengajarkan
agama Islam kepada kaum bangsawan dan keluarga kerajaan Banjar. Hal ini
terlihat dari awal kedatangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Abdul Wahab
Bugis di tanah Banjar (Martapura) pada bulan Ramadhan tahun 1208 H/1772 M yang
disambut meriah oleh seluruh komponen masyarakat Banjar, tidak hanya masyarakat
biasa akan tetapi juga kaum bangsawan dari kerajaan Banjar. Mengingat Syekh
Muhammad Arsyad sendiri sudah dianggap dan diakui sebagai bubuhan
kerajaan, terlebih-lebih lagi manakala mengetahui status Abdul Wahab yang juga
seorang bangsawan, sehingga oleh pihak kerajaan ia diberikan tempat untuk tinggal
dalam istana. Menjadi guru agama di Istana dan mengajarkan ilmu-ilmu agama
kepada bubuhan kerajaan.
Kedua, membantu
Syekh Muhammad Arsyad membuka perkampungan Dalam Pagar yang telah dihadiahkan
oleh kerajaan Banjar kepada beliau sebagai tanah lungguh. Mengingat
tekad kuat dan ikrar setia yang disampaikan oleh Abdul Wahab untuk mensyiarkan
agama Islam di tanah air, sesuai dengan pesan guru mereka ketika masih di kota
Madinah, ia juga aktif mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat luas yang
datang berbondong-bondong ke Dalam Pagar yang sudah dikenal dan menjadi pusat
pendidikan serta penyiaran agama Islam pada masa itu.
Ketiga, di samping
itu Abdul Wahab sebagai menantu dan sekaligus sahabat Syekh Muhammad Arsyad
yang juga memiliki pengetahuan agama yang luas dan alim, diduga sedikit banyak
beliau ikut menyumbangkan ilmu, pendapat, dan pandangannya ―sumbang saran―
terhadap berbagai masalah-masalah keagamaan yang terjadi di Tanah Banjar.
Dengan kata lain Abdul Wahab merupakan teman diskusi atau mudzakarah
agama Syekh Muhammad Arsyad. Hal ini terlihat dari adanya istilah-istilah
tertentu dalam Bahasa Bugis ―walaupun dalam jumlah yang sangat kecil, dan untuk
hal ini lebih jauh perlu dilakukan penelitian dan pengkajian kembali melalui
pendekatan Linguistik ataupun analisis teks― pada penulisan dan penyusunan
risalah atau kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari,
terutama Kitab Sabil al-Muhtadin.
Mengingat kedudukan dan kedekatannya, sumbangan pemikiran
Abdul Wahab terhadap sejumlah karya tulis Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
dapat saja terjadi, mengingat bahwa:
1. Abdul Wahab adalah salah seorang
ahli Fiqih dan murid dari Imam Haramain, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi
dan Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri, yang lama menuntut ilmu di Mesir dan Tanah
Haramain (Mekkah atau Madinah), beliau adalah seorang yang alim, sahabat
sekaligus menantu yang berjuang berdampingan bersama Syekh Muhammad Arsyad,
mewujudkan ikrar yang telah ditetapkan ketika berkumpul bersama-sama (dengan
tokoh empat serangkai lainnya) sesudah menuntut ilmu di Madinah, dan akan
pulang ke tanah air.
2. Abdul Wahab adalah salah seorang
tokoh dari “empat serangkai” yang mendapatkan ijazah khalifah dalam
tarekat Sammaniyah ketika keempatnya belajar dan mengkaji ilmu tasawuf atau
tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani.
3. Abdul Wahab dianggap sebagai tokoh
penting dalam jaringan ulama Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19 karena
keterlibatannya secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama tersebut.
Ketokohannya diakui dan dapat dilihat dari gelar syekh yang beliau
sandang. Sebab gelar syekh dalam khazanah masyarakat Banjar sendiri
mengisyaratkan kealiman penyandangnya, sekaligus pula menjadi penanda bahwa
yang bersangkutan pernah atau lama mengkaji ilmu di Tanah Haramain.
Karena itulah di samping diangkat menjadi guru di istana kerajaan Banjar oleh
Sultan, dalam kehidupan masyarakat luas pun ia dihormati dan dijadikan sebagai
guru rohani mereka.
Keempat, untuk
mendidik dan membina kader-kader penerus dakwah Islam, Syekh Muhammad Arsyad
telah membuka daerah Dalam Pagar, mendirikan surau, rumah tempat tinggal
sekaligus mandarasah yang menjadi tempat untuk belajar masyarakat, mengkaji
dan menimba ilmu, sekaligus tempat untuk mendidik kader-kader dakwah. Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari bersama Abdul Wahab telah membangun sebuah pusat
pendidikan Islam yang serupa ciri-cirinya dengan surau di Padang
Sumatera Barat, rangkang, meunasah dan dayah di Aceh, atau
pesantren di Jawa.
Bangunan tersebut terdiri dari
ruangan-ruangan untuk belajar, pondokan tempat tinggal para santri, rumah
tempat tinggal Tuan Guru atau kyai, dan perpustakaan. Oleh Humaidy lembaga
pendidikan Islam ini, sebagaimana istilah yang biasa dipakai di kawasan dunia
Melayu, seperti Riau, Palembang, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Pattani
(Thailand) disebut punduk. Sehingga Dalam Pagar akhirnya berhasil
menjadi locus dan kawah candradimuka paling penting untuk
mendidik serta mengkader para murid yang kemudian hari menjadi ulama terkemuka
di kalangan masyarakat Kalimantan. Tentu di masa-masa sulit seperti ini beliau berdua dengan
anak menantu dan sekaligus sahabatnya, Abdul Wahab Bugis saling membantu, mengisi,
dan membina kader-kader dakwah yang banyak jumlahnya tersebut. Hasilnya, di
samping berhasil menjadikan anak cucu mereka ―Fatimahdan Muhammad Yasin bin
Syekh Abdul Wahab Bugis serta Muhammad As’ad bin Usman (mufti pertama di
kerajaan Banjar)― sebagai ulama, membentuk kader-kader masyarakat yang kelak
menjadi ulama terkemuka, mereka berdua juga berhasil membentuk masyarakat Islam
Banjar yang memiliki kesadaran untuk berpegang pada ajaran agama Islam melalu
dakwah bil-lisan, bil-kitabah, dan bil-hal, serta diteruskan
kemudian oleh generasi-generasi dan kader-kader yang telah dibina melalui upaya
pengiriman juru dakwah ke berbagai daerah yang masyarakatnya sangat memerlukan
pembinaan agama, dari sini akhirnya dakwah terus berkembang dan ajaran Islam
semakin tersebar luas ke tengah-tengah masyarakat Banjar.
Perkembangan dakwah Islam yang begitu
menggembirakan, pada akhirnya memicu simpatik Sultan Tahmidillah II bin Sultan
Tamjidillah untuk memberikan keleluasaan kepada Syekh Muhammad Arsyad untuk
lebih memantapkan dan mengembangkan Islam di Tanah Banjar secara melembaga,
agar agama Islam benar-benar menjadi way of life, keyakinan dan pegangan
masyarakat Banjar khususnya, dan Kalimantan umumnya.Sultan berkeinginan pula
untuk menertibkan dan menyempurnakan peraturan yang telah dibuat berdasarkan
hukum Islam, wadah atau badan yang menjaga agar kemurnian hukum dapat
diterapkan, dan yang lebih penting lagi adalah agar roda pemerintahan di
kerajaan benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tuntunan agama.
Sehingga bermula dari sinilah kemudian timbul lembaga-lembaga dan
jabatan-jabatan keislaman dalam pemerintahan, semacam Mahkamah Syar’iyah,
yakni Mufti dan Qadli.
Mufti adalah suatu
lembaga yang bertugas memberikan nasihat atau fatwa kepada sultan
masalah-masalah keagamaan, jabatan mufti kerjaan Banjar yang pertama dipegang
oleh H. Muhammad As’ad bin Usman (cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari).
Sedangkan qadli adalah mereka yang mengurusi dan menyelesaikan segala
urusan hukum Islam, terhadap masalah perdata, pernikahan, dan waris, jabatan qadli
yang pertama dipegang oleh H. Abu Su’ud bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Sampai akhirnya Syariat Islam diterapkan sebagai hukum resmi yang mengatur
kehidupan masyarakat Islam di tanah Banjar pada masa pemerintahan Sultan Adam
al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M), yang
dikenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). Dibentuk dan diberlakukannya
UUSA ini bertujuan untuk mengatur agar kehidupan beragama masyarakat menjadi
lebih baik, mengatur agar akidah masyarakat lebih sempurna, mencegah terjadinya
persengketaan, dan untuk memudahkan para hakim dalam menetapkan status hukum
suatu perkara..
UUSA ini antara lain berisikan, Pasal 1 sampai dengan
pasal 2 berbicara tentang dasar negara yakni Islam yang Ahlu Sunnah wal
Jamaah, pasal 4 sampai dengan pasal 22 menerangkan peraturan dalam
peradilan berdasarkan mazhab Syafi’i, pasal 23 sampai pasal 27 berbicara
tentang hukum tanah garapan, penjualan tanah, penggadaian, peminjaman dan
penyewaan tanah yang harus dilakukan secara tertulis, serangkap di tangan hakim
dan serangkap lagi di tangan yang berkepentingan. Gugatan terhadap tanah yang
terjadi sebelum diberlakukan undang-undang dapat diajukan sebelum duapuluh
tahun semenjak undang-undang ditetapkan, sedang tanah atau kebun yang terjual
atau telah dibagi kepada ahli waris, dapat digugat selama sepuluh tahun dari
tahun penjualan atau pembagian sampai undang-undang diberlakukan. Orang yang
menang dalam perkara tidak boleh mengambil sewa selama berada di tangan
tergugat.
Di samping alasan-alasan di atas yang
mendasari aktivitas dan perjuangan dakwah Abdul Wahab di Tanah Banjar, sebagai
seorang ulama yang alim, ahli Ilmu Fikih dan menguasai Ilmu Tasawuf, menurut
asumsi penulis Abdul Wahab juga salah seorang ulama penyebar tarekat
Sammaniyah. Sehingga dalam konteks ini memungkinkan sekali jika ia menggunakan
pendekatan dakwah sufistik dalam aktivitas dakwahnya, di samping
pendekatan dakwah yang lain.
Dimaksud dengan dakwah sufistik adalah
usaha dakwah yang dilakukan oleh seorang muslim untuk mempengaruhi orang lain,
baik secara individu maupun kolektif (jamaah) agar mereka mau mengikuti
dan menjalankan ajaran Islam secara sadar, usaha ini dilakukan dengan
pendekatan tasawuf, yakni pendekatan dakwah yang lebih menekankan pada aspek
batin penerima atau objek dakwah (mad’u) daripada aspek lahiriyahnya.
Dengan kata lain pendekatan dakwah
sufistik adalah dakwah dengan menggunakan materi-materi sufisme, yang di
dalamnya terdapat aspek-aspek yang berhubungan dengan akhlak, baik akhlak
kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada sesama manusia, bahkan akhlak terhadap
semua makhluk ciptaan Allah seperti tawadlu’, ikhlas, tasamuh,
kasih sayang terhadap sesama, dan lain-lain, sehingga pada akhirnya dalam diri mad’u
timbul kesadaran untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah)
sedekat-dekatnya agar memperoleh rahmat serta kasih sayang-Nya.
Apatah lagi, pada masa itu tasawuf dan
berbagai tarekat yang ada telah memainkan peranan penting dalam perkembangan
dan Islamisasi di Indonesia sejak abad XI Masehi. Di mana berlangsungnya
Islamisasi di Asia Tenggara (termasuk di Indonesia), berbarengan dengan
masa-masa merebaknya tasawuf abad pertengahan, dan pertumbuhan tarekat-tarekat,
antara lain ajaran Ibn al-‘Arabi (w. 1240 M), ‘Abd al-Qadir al-Jailani (w. 1166
M) yang ajarannya menjadi dasar Tarekat Qadiriyah, ‘Abd al-Qahir al-Suhrawardi
(w. 1167 M), Najm al-Din al-Kubra (w. 1221 M) dengan tarekatnya Kubrawiyah, Abu
al-Hasan al-Syadzili (w. 1258 M) dengan tarekatnya Syadziliyah, Baha’u al-Din
al-Naqsyabandi (w. 1389 M) dengan tarekatnya Naqsabandiyah, ‘Abd Allah
al-Syattar (w. 1428 M) dengan tarekatnya Syattariyah, dan sebagainya. Sehingga
tasawuf merupakan sesuatu yang sangat diminati, tak terkecuali pula halnya
dengan masyarakat Banjar yang telah memiliki bibit-bibit ketasawufan tersebut.
Lebih dari itu, Islam yang masuk yang berkembang di Indonesia sendiri menurut
para ahli adalah Islam yang bercorak tasawuf.
Sayangnya, perjuangan dakwah Abdul
Wahab tidak begitu panjang, ia meninggal terlebih dahulu dan lebih muda setelah
sekian lama berjuang bahu-membahu mendakwahkan Islam bersama dengan Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari.
Tidak diketahui secara pasti memang
kapan tahun meninggalnya, namun diperkirakan antara tahun 1782-1790 M, dalam
usia enampuluh tahunan. Tahun ini penulis dasarkan pada catatan tahun pertama
kali kedatangannya (1772 M) dan tahun pemindahan makamnya. Di mana semula ia
dikuburkan di pemakaman Bumi Kencana Martapura, namun oleh Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari kemudian, bersamaan dengan pemindahan makam Tuan Bidur, Tuan
Bajut (isteri dari Syekh Muhammad Arsyad), dan Aisyah (anaknya Tuan Bajut),
makamnya kemudian dipindahkan ke desa Karangtangah (sekarang masuk wilayah desa
Tungkaran Kecamatan Martapura) pada pada hari Selasa, 2 Rabiul Awal 1208 H
(1793 M). Karena itu bisa diperkirakan bahwa, dihitung dari tahun pertama
kedatangan hingga wafatnya, Abdul Wahab telah bahu-membahu dan memperjuangkan
dakwah Islam mendampingi Syekh Muhammad Arsyad di tanah Banjar sekitar 10-15
tahun.
Ada pula yang menyatakan bahwa, Abdul
Wahab setelah lama berkiprah di Tanah dan kerajaan Banjar serta sesudah kedua
anaknya yakni Fatimah dan Muhammad Yasin dewasa, ia kemudian pulang dan
meninggal di kampung halamannya Pangkajene, Sulawesi Selatan. Demikianlah,
Syekh Abdul Wahab Bugis telah membaktikan ilmu, waktu, dan hidupnya untuk
memperjuangan dakwah Islam di Tanah Banjar. Seyogianya peranan, jasa dan
perjuangannya itu menjadi cermin bagi generasi sekarang untuk meninggalkan amal
shalih yang sama, sehingga berguna bagi generasi selanjutnya untuk membangun
dan mengembangkan masyarakatnya.
Komentar
KH. AHMAD DAHLAN
Pembaru Islam, dari kauman
Ahmad
dahlan lahir di Yogyakarta .Tokoh pembaru islam ini adalah anak ke empat dari
tujuh bersaudara yang keseluruhannya saudaranya pere,puan ,kecuali adik
bungsunya . Ayahnya bernama KH.Abu
Bakar .Ayahnya adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu
.Sedangkan ibunya adalah putri KH.Ibrahim bin KH.Hasan .
Nama
asli Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy .Akhirnya pada tahun 1888 pergi haji
yang dibiayai oleh kakak iparnya yang
bernama KH.Soleh ,seoarng kyai juga
seoarng saudagar yang kaya,Darwisy muda belajar islam lebih disan ,ketika
kembali kekampungnya ,Darwisy berganti nama Ahmad Dahlan.
Ahmad
Dahlan ingin mengadakan suatu pembahuruan dalam cara berpikir dan beramal
menurut tuntunan islam .Ia ingin mengajak umat Islam Indonesia ntuk kembali
hidup menurut tuntunan Al-Qur’an dan Hadits .Perkumpulan ini berdiri bertepatan
pada tanggal 19 Nopember 1912,di kampong
halaman Kauman Yogyakarta.
Yang
melatarbelakangi bahwa Ahmad Dahlan tergerak mewujudkan perintah Allah yang
ditelaahnya dan disampaikan kepada muridnya ,seperti Q.S Ali Imron [3] : 104 .
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.
Pada tahun
1914 beliau juga mendirikan organisasi kewantiaan Muhammadiyah dengan nama
“Sopo Tresno” yang kemudian berubah namanya menjadi “Aisyah” atas
jasa-jasa K.H Ahmad Dahlan dalam
membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembahuruan islam dan pendidikan
maka Republik Indonesia menetapkan sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan
Presiden No.657 tahun 1961 .Dasar-dasar penetapan itulah sebagai berikut
:
1. KH.Ahmad
Dahlan telah memelopori kebangkitan umat islam untuk menyadari nasibnya sebagai
bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat
2. Dengan
organisasi Muhammadiyah yang didirikannya ,telah banyak memberikan ajaran islam
yang murni kepada bangsanya .Ajaran yang menuntut kemajuan ,kecerdasan ,dan
beramal bagi umat ,dengan dasar iman dan islam
3. Dengan
organisasi nya ,Muhammadiyah telah memelopri amal usaha sosial dan
pendidikannya yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa dengan
jiwa ajaram islam .
4. Dengan
organisasi ,Muhammadiyah bagian wanita ( Aisyah) telah memopolori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap
pendidikan dan berfungsi social,setingkat kaum pria.
KH.AHMAD.M .ASY’ARI Pendiri NU Yang
ahli hadits
Hasyim
Asy’ari dilahirkan dijombang ,Jawa Timur pada tanggal 10 April 1875/24 Dzul
Qaidah 1287 H.Ayahnya bernama Kiai Asy’ari ,pemimpin pesantren disebelah selatan Jombang
.Ibunya bernama Halimah .
Sejak kecil sudah belajar dari sang
ayahnya dan kakeknya Ayahnya bernama Kiai Asy’ari dan kakeknya Kiai Utsman ,beliau belajar itu
tidak mengenal putus asa dari berbagai pondok yang beliau belajar mencari ilmu
tersebut.Belum puas ilmu yang didapat beliau selalu belajar kepesantren satu
kepesantren lainnya selama lima tahun Hasyim menekuni ilmu diPesantren Siwalan.Dan rupanya
kyai Yaqub tertarik sehingga dia menjodohkan dengan utrinya yang bernama
Chadidjah ,salah satu putrid kyai tersebut .
Tidak lama kemudian perkawinannya
dia berangkat ke mekkah untuk menunaikan ibadah haji disana dan bertempat
tinggal disana, sesudah tujuh bulan disana istrinya melahirkan seorang putra ,tak
berapa lama kemudian isrtinya meninggal dunia Abdullah putranya yang usiamya
belum sampai 40 hari juga meninggal dunia,Pada tahun berikutnya ia kembali
keindonesia.
Dalam perjalannanya kepulang tanah
air ,ia singgah dulu ke joor,Malaysia untuk mengajar disana pada tahun 1899 ia
mengajar pondok mlik kakeknya.Dalam pesantren itu ,bukan hanya agama yang
diajarkan tetapi juga pengetahuan umum.Beliau bukan saja seoarang kyai ternama
melainkan petani dan pedagang yang sukses.
Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul
Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan
pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam
pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum,
berorganisasi, dan berpidato,
Kesederhanaan
Hadratussyaikh Hasyim Asyari mengundang para santri untuk dekat dengan beliau.
Hubungan dekat kiai-santri ini tampak dari keseharian beliau yang selalu berada
di tengah-tengah para santri. Bahkan dalam setiap hari terdapat cukup banyak
agenda pesantren yang beliau rancang agar bisa bersama-sama dengan santri.
Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili
kalangan pesantren, dengan yang tidak bermazhab itu memang kerap tidak
terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di
Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai
kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan
tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi
kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai
para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang
dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi
kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite
inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang
artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937
ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan
Islam Indonesia yang terkenal dengan sebutan MIAI (Majelis Islam A’la
Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah Dalam kitabnya Risalah
Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah itu Kyai Hasyim banyak menulis tentang kondisi
pemikiran umat pada akhir zaman. Oleh sebab itu, Kyai Hasyim mewanti-wanti agar
tidak fanatik pada golongan, yang menyebabkan perpecahan dan hilangnya wibawa
kaum muslim. Jika ditemukan amalan orang lain yang memiliki dalil-dalil mu’tabarah,
akan tetapi berbeda dengan amalan syafi’iyyah, maka mereka tidak boleh
diperlakukan keras menentangnya. Sebaliknya, orang-orang yang menyalahi aturan qath’i
tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan kepada al-Qur’an, hadis, dan
pendapat para ulama terdahulu. memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar
yang pernah ada di Indonesia.